Kamis, 04 November 2010


Pengalaman Ketiga Mencicipi Filosofi Kopi


Siang tadi, setelah selesai menjalani ujian tengah semester, aku pergi ke Perpustakaan Kota Yogyakarta naik sepeda. Lokasinya dekat dari kampusku, lima menit bersepeda dengan kecepatan normal, sudah bisa sampai. Mulanya hanya ingin mengembalikan buku cara menggambar cepat dan A Cat in My Eyes nya Fahd Djibran yang kupinjam beberapa hari lalu. Tapi karena hujan turun dengan deras pas saat parkir sepeda di halaman perpustakaan, aku pun menahan diri. Janji kembali ke kampus kepada teman untuk membicarakan acara pentas budaya yang akan diselenggrakan oleh fakultas terpaksa kuundur dengan harapan hujan sebentar lagi akan reda. Aku menduga hujannya seperti biasa, layaknya seember air yang ditumpah dari langit. Ternyata, perkiraanku keliru.


Aku menuju katalog buku yang sudah dikomputerisasi. Hujan Bulan Juni nya Sapardi Djoko Damono aku coba cari. Aku ketik judulnya di kotak kata kunci. Hasilnya pun keluar, SR 811 DAM h. Aku langsung menju rak sesuai kode tersebut. Sejujurnya, ini adalah pencarianku yang kesekian kalinya, sehingga kode itu sudah kuhapal. Namun lagi-lagi aku belum beruntung. Buku itu masih belum kutemukan.


Tunggu dulu, aku ragu menyebut kata ‘belum’, soalnya aku sudah yakin upaya pencarianku sudah mati-matian, sampai merangkak kayak kucing saat memelototi deretan buku satu per satu di rak terbawah. Aku kelilingi rak bernomor 800-an bolak balik berulang kali. Tidak hanya yang berkode 811. Aku juga mencarinya di deretan buku berkode 812, 813, dan seterusnya dengan asumsi mungkin saja ada orang tidak memperhatikan peringatan ‘untuk tidak menaruh buku sendiri di rak setelah membaca’ yang tertempel di setiap rak sehingga terselip di tengah buku-buku berkode lain, seperti satu buku yang aku temukan berkode lain di nomor 811. Tapi usahaku sia-sia. Memang tidak ada, bukan belum. Mungkin aku kurang perhatikan keterangan di katalog. Mungkin saja di situ berstatus ‘sedang dipinjam’. Ah, sudahlah, aku malas ke katalog lagi. Juga enggan bertanya pada pustakawan. Lebih baik cari buku lain. Toh aku juga sudah pernah membacanya meski belum hatam.


Rak yang berkode 800-an berisi buku-buku sastra. Aku pun memutuskan mencari buku lain tetap di rak ini. Kembali aku berkeliling, mencoba mencari buku apa yang akan dipilih oleh mood ku saat itu. Setelah membaca beberapa judul dan sampul belakang, seruan ‘Ahaaa’ tiba-tiba terdengar dari benakku saat melihat Filosofi Kopi nya Dewi ‘Dee’ Lestari, salah satu penulis favoritku. Kutarik keluar dan kupegang-pegang sebentar . Setelah itu kumasukkan lagi dalam barisannya lalu kembali berkeliling, mencoba cari yang lain. Tetap saja, pilihanku jatuh kepada So-Pi, panggilan sayangku yang kucontek dari ceritanya.


Sebenarnya, So-Pi ini sudah pernah kubaca –selanjutnya aku sebut dengan kucicipi, mencicipi. Ini yang kali ketiga. Pengalaman pertamaku mencicipinya sewaktu masih SMA tahun pertama (atau SMP?), sejujurnya aku sendiri sudah lupa. Yang jelas sebelum kelas 3. Sebab, aku masih ingat betul aku kembali mecicipinya untuk yang kedua saat berstatus ‘lulusan-SMA- kemarin-sore’. Jadilah, siang tadi merupakan pengalamanku yang ketiga kalinya.


Bagiku, tak mengapa membaca buku yang sama berulang kali. Malah bagus. Sebab, aku selalu percaya selalu ada pengalaman berbeda yang dirasakan dan ditemukan dalam keterulangan itu. Tunggu, konsep keterulangan yang saya maksud adalah frekuensi membacanya, dengan buku yang sama. Setidaknya beda ruang dan waktu. Namun hal menarik lain yang aku peroleh dari pengalaman ketiga ini sehingga menginspirasiku menuliskannya adalah bukan hanya masalah perbedaan ruang dan waktu, tapi juga suasana, tingkat kedewasaan (yang baru aku sadari saat membaca So-Pi tadi), kepekaan rasa, dan pemahaman akan isi.


Seperti yang aku ceritakan tadi, pengalaman pertama dan keduaku membaca So-Pi adalah saat 17 tahun ke bawah. Waktu itu, karena tidak punya uang dan masih belum berpikir bahwa membeli buku itu adalah laku investatif dunia akhirat, maka saat berkunjung ke Gramedia lah yang aku manfaatkan untuk membaca So-Pi. Baru setelah kunjungan keduaku, aku berhasil menuntaskannya. Cukup puas rasanya, meskipun aku tidak paham sepenuhnya pada beberapa bagian. Ya, aku mungkin payah sudah umur segitu belas belum bisa mengerti betul bacaan yang kata Goenawan Mohamad di blurb nya ‘tidak ruwet, bahkan terang benderang’. Terserahlah, setidaknya aku sudah punya minat baca.


Lantas, apa saja itu yang aku rasakan dan temukan dari trilogi pengalaman ini? Wah, entah banyak atau tidak yang jelas sungguh terasa perbedaannya antara pengalaman 3-4 tahun lalu dengan sekarang. Tidak bisa dihitung secara matematis, namun bisa dirasa secara intuitif. Yang jelas, aku makin menyadari bahwa kedewasaan (baca: kematangan) berpikirku semakin berkembang. Pengantar yang ditulis oleh Goenawan Mohamad dan cerpen So-Pi itu sendiri semakin aku mengerti maksudnya. Aku juga tersadar bahwa ternyata begitu banyak hal sepele menjadi mubazir karena hati dan pikiran kita setiap saat (dipaksa/terpaksa) terjebak oleh bombardir dunia materi, dunia yang mementingkan hal-hal di permukaan.


Aku suka sekali dengan konsep Dee yang berupa ‘cinta yang bertransformasi’, entah itu cinta antarinsan, cinta pada kopi, cintanya kecoak, dan sebagainya. Ritme bertutur Dee dan kreatifitasnya meramu konsep-konsep umum menjadi sesuatu yang bikin kita (eh, setidaknya aku pribadi) mengangguk senyum dan tersadar serta terinspirasi seperti inilah yang membuat kekagumanku tidak pernah fluktuatif bahkan semakin aku gede seperti sekarang, semakin nambah rasa kagumnya.



Sekitar pukul satu siang (sejujurnya aku juga tidak yakin). Aku masih membaca cerpen So-Pi. Sudah di tengah-tengah. Asik menikmati sambil sesekali terhaha-haha. Tiba-tiba guntur sepertinya mengamuk di luar sana, suaranya menggelegar bikin kaget-kaget. Berkali-kali. Sampai pada saat gelegar yang paling besar, bersamaan dengan mati lampu. (Pas menulis kata ‘mati lampu’ ini, kamar kosku juga tiba-tiba padam lampunya). Sekonyong-konyong pengunjung perpustakaan kompak seperti dipandu alam merebahkan tangan di atas dada masing-masing diiringi berbagai seruan responsif. Aku sendiri spontan berucap astagfirullah. Aku tengok ke luar dari tempatku duduk, hujan semakin menjadi-jadi derasnya. Meskipun sempat terganggu, namun para pengunjung tetap melanjutkan aktivitas masing-masing. Yang masih cari-cari buku di rak tampak berusaha lebih keras lagi. Mata mereka diaktivasi lebih tajam dibantu kepala dan leher yang semakin maju.


Untunglah, kami terbantu oleh lampu baterei yang disediakan oleh perpustakaan. Tapi karena persediannya terbatas, maka lampu itu diambil kembali oleh seorang pustakawan untuk diletakkan di meja peminjaman. Lebih penting ditaruh di situ katanya. Benar juga, sebab di situ memang lebih gelap, sementara ruang pembaca masih terbantu oleh cahaya dari luar yang masuk melalui pintu dan jendela kaca besar di samping.


Hujan memang deras di luar sana. Namun tak terasa dingin bagiku. Sensasi selama mencicipi Filosofi Kopi dan jaket Polo merah kesayanganku yang membungkus badan memberi rasa hangat yang sudah lebih dari cukup. Untunglah aku pakai jaket ini, seruku dalam hati. Aku juga nampaknya hanya nurut oleh perintah alam untuk mengenakannya, karena sebelumnya aku tidak tahu mau pakai apa ke kampus. Pakaianku masih banyak yang kotor, belum dicuci, membuntel di pojokan kamar. Sementara yang masih bersih terlipat tidak mau aku pakai dulu. Masalahnya cuaca tidak menentu, saat pagi terik, sorenya hujan. Mencuci jadi pekerjaan yang nyaris sia-sia.


Aku merogoh saku celana medanku untuk mengambil ponsel. Aku lihat jam, sudah 13.38. Astaga, aku hampir lupa janji kembali ke kampus! So-Pi sebentar lagi kutuntaskan. Hujan juga sudah sediikit-agak-reda. Tapi aku merasa malas ke sana. Lagipula temanku tidak kirim sms. Aku berpikir sebaiknya aku kembali ke kos saja sebelum hujan deras lagi. Buku Filosofi Kopi pun aku pinjam untuk dibawa pulang, setelah So-Pi selesai kubaca. Niat awal 100% berubah.


Akhirnya aku pulang dengan basah. Sedikit-agak-reda yang kulihat tadi ternyata jika dirasa adalah hujan deras yang tetes-tetes airnya hanya berkurang sedikit jumlahnya, tapi dengan kecepatan yang sama. Meskipun lampu lalu lintas juga ikut turn-off saat puncak gelegar guntur tadi, polisi tetap turun ke jalan. Aku dan pengendara lain yang tadinya mau terus maju, berhenti oleh bunyi peluit dan telapak tangan polisi. Hebat, bapak polisi itu seperti seorang sakti yang dari telapak tangannya keluar kekuatan penghalau massal. Tinggalah kami yang diguyur hujan. Ah, biarlah, nikmati saja hujan ini!, seruku dalam hati. Sepeda pun kugowes pelan dan hood jaket kulepas. Kubiarkan setiap tetes jatuh menusuk-nusuk di kepala dan badan. Sudah lama aku tidak main hujan, sampai lupa kapan terakhir kalinya.


Yogyakarta, 4 November 2010


*gambar dipinjam dari sini, sana, dan situ*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ruang Tamu