Tampilkan postingan dengan label Books. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Books. Tampilkan semua postingan

Minggu, 17 April 2011

Apa Dan Siapa Priyayi Itu?


Membaca novel ini seperti membaca riwayat hidup sebuah keluarga priyayi. Menariknya, riwayat tersebut seakan ditulis dan diceritakan sendiri oleh para anggota keluarga. Jadi, sudut pandangnya berubah-ubah meskipun tetap dengan kata ganti 'saya', sesuai dengan tokoh siapa yang sedang bercerita di setiap bab. Inilah yang khas dari gaya bercerita penulis.

Dengan gaya bercerita yang seperti itu, ada keunggulan tersendiri yang saya rasakan. Keunggulan tersebut berupa pelibatan perasaan yang terasa lebih nyata dan dekat antara tokoh-tokoh yang bercerita dengan pembaca. Belum lagi, bahasanya yang komunikatif layaknya orang mengobrol membuat pembaca ingin terus mendengarkan ceritanya sampai selesai.

Novel setebal 300-an halaman ini seperti sebentuk dokumentasi tertulis yang terhimpun dari catatan masing-masing tokoh atau anggota keluarga dalam cerita yang ceritanya berkesinambungan satu sama lain. Umar Kayam lah pengumpul dan penyusun kumpulan cerita tersebut. Kira-kira seperti itulah kesannya. Akan tetapi, novel ini tetaplah sebuah karya fiksi yang murni dari sang penulis. Bangunan cerita, penokohan, logika alurnya, dan semuanya adalah hasil ciptaan beliau berdasarkan imajinasi dan mungkin juga -atau tentu saja?- pengalaman.

Kisah keluarga priyayi yang diceritakan penulis dalam novel ini sungguh hidup. Apa yang saya maksud dengan hidup di sini adalah seperti ini: selain tokoh-tokohnya sendiri yang bercerita bergantian-gantian di setiap babnya, pembaca juga diajak mengikuti bagaimana tokoh-tokoh itu dari kecil tumbuh remaja, dewasa, dan akhirnya tua serta bagaimana kehidupan mereka banyak berubah seiring perubahan zaman.

Ada tiga potret zaman yang menjadi alur cerita, masa penjajahan Belanda, pendudukan Jepang, dan masa revolusi serta pergerakan yang sumbunya sedang menyala-nyala sekitar tahun 1965. Meskipun alurnya ini bolak-balik, tapi konstruksinya tetap logis dan tidak njlimet sama sekali. Penulis sangat cakap membawa pembaca mengikuti alur tersebut dan menjadikannya sebagai saksi atas riwayat kehidupan keluarga besar Soedarsono, pendiri trah keluarga priyayi Sastrodarsono, hingga tokoh tersebut wafat. Selain itu, penulis juga terampil meramu sisi humor, haru, dan menegangkan menjadi satu komposisi yang pas.

Apa dan Siapa Priyayi Itu?
Sjafri Sairin dalam tulisannya berjudul Javanese Trah (Kin-Based Social Organization) mengutip Sosrodiharjo dan Sutherland yang mengatakan bahwa secara etimologis, kata 'priyayi' berasal dari kata para yang berarti jamak atau banyak (plural) dan yayi yang bemakna saudara muda atau adiknya raja (younger brother of the king).

Selanjutnya, Pak Syafri -begitu kami para mahasiswanya memanggil beliau- menjelaskan bahwa fungsi dari kelompok priyayi ini adalah secara tradisional membawa perintah yang datang kepada mereka melalui sentono dalem. Saya tidak tahu apa padanan yang tepat dari sentono dalem dalam Bahasa Indonesia. Teman-teman saya yang orang Jawa juga tidak tahu, ada bahkan yang mengatakan bahwa tidak ada padanannya. Apakah ini indikator bahasa daerah lebih kaya dari Bahasa Indonesia? Yang jelas, anggota dari kelompok sentono dalem ini adalah keturunan asli dari keempat pemimpin kerajaan di Jawa bagian tengah (Central Java), yakni Sultan Yogyakarta, Paku Alaman, Susuhunan, dan Mangkunegaran. Ya, keluarga priyayi yang diceritakan memang keluarga priyayi Jawa dan nuansa Jawa nya juga sungguh terasa. Lantas siapakah para priyayi itu?

Berdasarkan uraian Pak Syafri, pada masa kolonial para priyayi ini sebenarnya berasal dari kalangan orang biasa yang diangkat dan kemudian akhirnya dianggap sebagai keturunan langsung (direct family) dari raja karena mempunyai suatu kemampuan yang tidak dimiliki orang kalangan biasa lainnya. Mereka biasanya mendapatkan posisi administratif di istana, gelar kehormatan karena menjadi bagian dari kerajaan, dan hak untuk layanan-layanan pribadi dari penguasa. Kemudian, konsepsi priyayi meluas ke mereka yang juga bergelar guru dan kaum intelektual lainnya.

Apa yang dijelaskan oleh Pak Syafri ini dapat dijumpai contoh-contohnya dalam novel.

Soedarsono, seorang anak dari keluarga petani kecil Desa Kedungsimo menjadi priyayi setelah ia berhasil mencapai posisi sebagai guru bantu. (Mengenai latar Desa Kedungsimo ini, tidak jelas apakah di Jawa Tengah atau di Jawa Timur). Meskipun bukan anak priyayi dan sama sekali tidak punya leluhur priyayi, Soedarsono berhasil menjadi priyayi berkat kegigihannya dan kesungguhan orang tuanya dalam menyekolahkan.

Memang ada beberapa cara untuk bisa mencapai status priyayi; karena faktor keturunan, karena pemberian atas suatu dedikasi, dan karena mencari sendiri. Soedarsono mencapainya karena mencari sendiri, meskipun ia juga dibantu oleh majikan orang tuanya (Ndoro Seten) untuk dicarikan jalan agar dapat diterima sebagai guru bantu. Tapi itu pun masih priyayi yang paling rendah tingkatannya. Untuk menjadi priyayi yang terpandang, ia harus mencapai jabatan sebagai mantri guru. Sejujurnya, saya juga tidak terlalu paham dengan konsep 'mantri guru' ini, apakah beda dengan guru bantu atau guru penuh?

Priyayi tingkat rendah, priyayi terpandang, inilah yang menjadi salah satu corak khas kebudayaan Jawa. Orang Jawa identik dengan hierarki. Contoh lain, adalah dikenalnya Bahasa Jawa krama (diucapkan dengan kromo yang berarti 'halus') dan Bahasa Jawa ngoko (kasar). Yang pertama dipakai saat berbicara dengan orang yang lebih tua atau yang lebih dihormati, sedangkan yang kedua dipakai untuk percakapan dengan orang atau teman yang sudah akrab. Sementara itu, tokoh-tokoh masyarakat yang dihormati boleh menggunakan Bahasa Jawa krama atau ngoko kepada bawahannya atau orang biasa. Inilah contoh detail yang teliti diperhatikan oleh penulis dalam ceritanya.

Berbagai detail lain yang digambarkan dengan hati-hati tapi tidak terkesan memaksa adalah mengenai perbedaan-perbedaan yang melingkupi kehidupan priyayi dan wong cilik (orang kecil/biasa). Misalnya, nama priyayi berbeda dengan nama wong cilik. Soedarsono adalah nama priyayi, Ngali atau Ngusman adalah nama wong cilik. Anak priyayi memanggil ibunya dengan 'Ibu' atau 'Bu', anak wong cilik memanggil ibunya dengan embok. Sementara itu, Marie (cucu Soedarsono) memanggil ibunya dengan 'mama' karena besar di Jakarta.

Ciri khas gaya hidup priyayi yang juga digambarkan dengan detail oleh penulis adalah kurang lebih seperti ini: para priyayi suka minum-minum teh di sore hari, punya kursi goyang untuk bersantai, dan terutama suka bermain kesukan serta bertayub. Kesukan adalah bermain ceki (kartu) sambil mengobrol ngalor-ngidul tentang apa saja, sedangkan bertayub adalah berpesta kecil-kecilan dengan penari-penari genit. Pokoknya, tipikal manusia impian wong cilik pada masa itu (masa penjajahan).

Akan tetapi, priyayi tidak luput dari salah dan dosa. Penulis seakan menegaskan bahwa seterpandang apa pun priyayi itu di masyarakat, mereka juga tidak lebih dari manusia biasa, sekalipun bukan 'orang biasa'. Di saat Soedarsono berada di puncak amarah atau cuma kesal karena sesuatu yang sebenarnya sepele, dia juga bisa berkata kasar dan tidak sopan. Selain itu, cucunya Harimurti, kelak ketika dewasa menghamili pacarnya, menantunya Harjono selingkuh dengan rekan kerjanya, dan cucunya Marie juga diperawani pacarnya sebelum terikat pernikahan yang sah secara agama ataupun negara.

Priyayi, Gengsi Sosial
Jika diperhatikan, dalam novel ini penulis secara tidak langsung mengungkapkan bahwa ada perubahan konsepsi mengenai priyayi dari zaman ke zaman. Di zaman kolonial, guru bantu atau yang sekarang mungkin bisa disepadankan dengan guru honorer sudah bisa dikatakan priyayi, meski masih priyayi rendahan. Hal ini karena pada zaman itu, akses untuk mengenyam pendidikan sangat sulit dan butuh perjuangan yang tidak main-main sehingga hanya segelintir yang bisa mengecapnya. Anak yang orang tuanya priyayi, bisa sekolah di sekolah priyayi seperti HIS atau HIK. Sementara untuk wong cilik, butuh perjuangan yang berani untuk bisa sekolah di sekolah desa khusus wong cilik. Orang tuanya harus rela melepas anaknya sekolah dan harus siap banting tulang membiayai sekolahnya. Beruntung jika ada orang dermawan yang mau menyekolahkan.

Bagaimana dengan zaman sekarang di mana sudah banyak sekali spesialisasi pekerjaan yang gengsinya saing-saingan khusunya di kota-kota besar? Menurut saya, jika dilihat dari sudut pandang kekinian, konsep priyayi adalah konsep yang usang. Jarang sekali kita dengar bahwa dokter, dosen, direktur perusahaan, dan berbagai pekerjaan prestisius bagi kalangan umum lainnya disebut priyayi. Malah pengertian kita (saya bilang 'kita' karena teman-teman dan dosen saya juga demikian) secara spontan terasosiasi dengan kaum bangsawan atau keturunan raja. Ini berarti membicarakan konteks masa lampau. Ini juga berarti bahwa priyayi rasa-rasanya bukanlah konsep yang hidup dalam konteks masa kini.

Meskipun demikian, ada satu hal yang tidak pernah berubah sehubungan dengan priyayi ini, yakni gengsi sosialnya. Sejak dahulu hingga sekarang, jika ada yang mengatakan bahwa si A adalah keturunan priyayi, maka secara otomatis ada semacam gengsi sosial yang tersandang pada dirinya. Sadar atau tidak, terima atau tidak.

Mengapa Lantip?
Pada bagian akhir novel ini, Sastrodarsono meninggal dunia. Penggambaran suasana haru oleh penulis sangat terasa di sini. Lantip, meskipun sebenarnya hanyalah anak angkat, justru ditunjuk oleh anak-anak dan cucu-cucu Sastrodarsono sebagai juru bicara untuk pidato selamat jalan kepada mendiang Sastrodarsono. Meski awalnya merasa berat dan tidak pantas, ia pun menerimanya dengan mantap.

Sebenarnya pembaca (setidaknya bagi saya sendiri) sudah bisa menebak mengenai penunjukan Lantip ini, karena memang dialah yang pantas dengan segala jasanya bagi keluarga Sastrodarsono. Dialah priyayi sesungguhnya, priyayi tulen kata Hari, anak Hardojo atau cucu Sastrodarsono. Intinya, Lantip mewarisi semangat priyayi dari Sastrodarsono. Akan tetapi, menurut Heddy Shri Ahimsa-Putra dalam bukunya Strukturalisme Levi-Strauss Mitos dan Karya Sastra mengatakan bahwa jawaban seperti ini rasanya terlalu mudah dan untuk itu juga mudah dibantah. Ia pun mencoba menganalisisnya dengan menggunakan pendekatan struktural Levi-Strauss.

Bagi Ahimsa-Putra agak mengherankan bahwa ternyata Lantip lah yang ditunjuk sebagai juru bicara keluarga Sastrodarsono. Ini karena bibit, bebet, dan bobot nya sangatlah bukan priyayi. Lantip adalah anak haram dari seorang gadis desa miskin penjual tempe keliling. Jika yang diperhitungkan adalah 3 B ini ditambah dengan semangat priyayi, maka para priyayi tulen yang mestinya ditunjuk adalah anak-anak Sastrodarsono. Lantas, kenapa harus Lantip? Untuk menjawab pertanyaan ini, berikut beberapa yang bisa saya simpulkan dari analisis Ahimsa-Putra.

Pertama, adanya kesamaan sejarah kehidupan Sastrodarsono dengan Lantip. Keduanya sama-sama anak tunggal, keturunan wong cilik, dan berhasil mencapai status priyayi karena ada bantuan dari pihak lain. Sastrodarsono dibantu oleh Ndoro Seten, majikan orang tuanya, sedangkan Lantip dibantu oleh Sastrodarsono, yakni diangkat sebagai anaknya lalu disekolahkan.

Kedua, baik Sastrodarsono maupun Lantip sama-sama telah mengalami pergantian nama. Soedarsono adalah nama kecil Sastrodarsono, sedangkan nama kecil Lantip adalah Wage. Bedanya, Soedarsono merupakan nama priyayi pemberian Ndoro Seten (meskipun saat itu dia belum masuk dunia priyayi), sementara Wage adalah nama wong cilik pemberian orang tuanya. Soedarsono berganti nama jadi Sastrodarsono ketika ia telah menjadi guru bantu. Wage berganti nama jadi Lantip ketika ia mulai memasuki dunia sekolah. Jadi, keduanya berganti nama ketika mulai memasuki dunia priyayi.

Ketiga, Sastrodarsono dan Lantip memiliki persamaan dalam relasi-relasi keduanya dengan beberapa orang di sekitar mereka. Karena penjelasannya ini panjang dan susah bagi saya untuk meringkasnya, maka saya sarankan bagi yang tertarik silakan dibaca sendiri analisis Ahimsa-Putra dalam bukunya yang judulnya sudah tersebut di atas pada halaman 322-337.

Terlepas dari analisis Ahimsa-Putra di atas, yang menarik bagi saya dalam penutup novel ini adalah pernyataan Lantip yang mengatakan bahwa kata 'priyayi' sudah tidak penting lagi baginya. Yang terpenting adalah dedikasi atau pengabdian kepada keluarga, kerabat dekat, dan masyarakat luas. Inilah yang berkali-kali disebut dalam pidatonya. Inilah yang diresapi Lantip dari kehidupan mendiang Sastrodarsono. Dan menurut saya, rasa-rasanya ini juga merupakan pernyataan tidak langsung dari penulis sendiri, Umar Kayam.


*Gambar dipinjam dari sene neeeeh: http://bit.ly/eMuUVx *

Kamis, 04 November 2010


Pengalaman Ketiga Mencicipi Filosofi Kopi


Siang tadi, setelah selesai menjalani ujian tengah semester, aku pergi ke Perpustakaan Kota Yogyakarta naik sepeda. Lokasinya dekat dari kampusku, lima menit bersepeda dengan kecepatan normal, sudah bisa sampai. Mulanya hanya ingin mengembalikan buku cara menggambar cepat dan A Cat in My Eyes nya Fahd Djibran yang kupinjam beberapa hari lalu. Tapi karena hujan turun dengan deras pas saat parkir sepeda di halaman perpustakaan, aku pun menahan diri. Janji kembali ke kampus kepada teman untuk membicarakan acara pentas budaya yang akan diselenggrakan oleh fakultas terpaksa kuundur dengan harapan hujan sebentar lagi akan reda. Aku menduga hujannya seperti biasa, layaknya seember air yang ditumpah dari langit. Ternyata, perkiraanku keliru.


Aku menuju katalog buku yang sudah dikomputerisasi. Hujan Bulan Juni nya Sapardi Djoko Damono aku coba cari. Aku ketik judulnya di kotak kata kunci. Hasilnya pun keluar, SR 811 DAM h. Aku langsung menju rak sesuai kode tersebut. Sejujurnya, ini adalah pencarianku yang kesekian kalinya, sehingga kode itu sudah kuhapal. Namun lagi-lagi aku belum beruntung. Buku itu masih belum kutemukan.


Tunggu dulu, aku ragu menyebut kata ‘belum’, soalnya aku sudah yakin upaya pencarianku sudah mati-matian, sampai merangkak kayak kucing saat memelototi deretan buku satu per satu di rak terbawah. Aku kelilingi rak bernomor 800-an bolak balik berulang kali. Tidak hanya yang berkode 811. Aku juga mencarinya di deretan buku berkode 812, 813, dan seterusnya dengan asumsi mungkin saja ada orang tidak memperhatikan peringatan ‘untuk tidak menaruh buku sendiri di rak setelah membaca’ yang tertempel di setiap rak sehingga terselip di tengah buku-buku berkode lain, seperti satu buku yang aku temukan berkode lain di nomor 811. Tapi usahaku sia-sia. Memang tidak ada, bukan belum. Mungkin aku kurang perhatikan keterangan di katalog. Mungkin saja di situ berstatus ‘sedang dipinjam’. Ah, sudahlah, aku malas ke katalog lagi. Juga enggan bertanya pada pustakawan. Lebih baik cari buku lain. Toh aku juga sudah pernah membacanya meski belum hatam.


Rak yang berkode 800-an berisi buku-buku sastra. Aku pun memutuskan mencari buku lain tetap di rak ini. Kembali aku berkeliling, mencoba mencari buku apa yang akan dipilih oleh mood ku saat itu. Setelah membaca beberapa judul dan sampul belakang, seruan ‘Ahaaa’ tiba-tiba terdengar dari benakku saat melihat Filosofi Kopi nya Dewi ‘Dee’ Lestari, salah satu penulis favoritku. Kutarik keluar dan kupegang-pegang sebentar . Setelah itu kumasukkan lagi dalam barisannya lalu kembali berkeliling, mencoba cari yang lain. Tetap saja, pilihanku jatuh kepada So-Pi, panggilan sayangku yang kucontek dari ceritanya.


Sebenarnya, So-Pi ini sudah pernah kubaca –selanjutnya aku sebut dengan kucicipi, mencicipi. Ini yang kali ketiga. Pengalaman pertamaku mencicipinya sewaktu masih SMA tahun pertama (atau SMP?), sejujurnya aku sendiri sudah lupa. Yang jelas sebelum kelas 3. Sebab, aku masih ingat betul aku kembali mecicipinya untuk yang kedua saat berstatus ‘lulusan-SMA- kemarin-sore’. Jadilah, siang tadi merupakan pengalamanku yang ketiga kalinya.


Bagiku, tak mengapa membaca buku yang sama berulang kali. Malah bagus. Sebab, aku selalu percaya selalu ada pengalaman berbeda yang dirasakan dan ditemukan dalam keterulangan itu. Tunggu, konsep keterulangan yang saya maksud adalah frekuensi membacanya, dengan buku yang sama. Setidaknya beda ruang dan waktu. Namun hal menarik lain yang aku peroleh dari pengalaman ketiga ini sehingga menginspirasiku menuliskannya adalah bukan hanya masalah perbedaan ruang dan waktu, tapi juga suasana, tingkat kedewasaan (yang baru aku sadari saat membaca So-Pi tadi), kepekaan rasa, dan pemahaman akan isi.


Seperti yang aku ceritakan tadi, pengalaman pertama dan keduaku membaca So-Pi adalah saat 17 tahun ke bawah. Waktu itu, karena tidak punya uang dan masih belum berpikir bahwa membeli buku itu adalah laku investatif dunia akhirat, maka saat berkunjung ke Gramedia lah yang aku manfaatkan untuk membaca So-Pi. Baru setelah kunjungan keduaku, aku berhasil menuntaskannya. Cukup puas rasanya, meskipun aku tidak paham sepenuhnya pada beberapa bagian. Ya, aku mungkin payah sudah umur segitu belas belum bisa mengerti betul bacaan yang kata Goenawan Mohamad di blurb nya ‘tidak ruwet, bahkan terang benderang’. Terserahlah, setidaknya aku sudah punya minat baca.


Lantas, apa saja itu yang aku rasakan dan temukan dari trilogi pengalaman ini? Wah, entah banyak atau tidak yang jelas sungguh terasa perbedaannya antara pengalaman 3-4 tahun lalu dengan sekarang. Tidak bisa dihitung secara matematis, namun bisa dirasa secara intuitif. Yang jelas, aku makin menyadari bahwa kedewasaan (baca: kematangan) berpikirku semakin berkembang. Pengantar yang ditulis oleh Goenawan Mohamad dan cerpen So-Pi itu sendiri semakin aku mengerti maksudnya. Aku juga tersadar bahwa ternyata begitu banyak hal sepele menjadi mubazir karena hati dan pikiran kita setiap saat (dipaksa/terpaksa) terjebak oleh bombardir dunia materi, dunia yang mementingkan hal-hal di permukaan.


Aku suka sekali dengan konsep Dee yang berupa ‘cinta yang bertransformasi’, entah itu cinta antarinsan, cinta pada kopi, cintanya kecoak, dan sebagainya. Ritme bertutur Dee dan kreatifitasnya meramu konsep-konsep umum menjadi sesuatu yang bikin kita (eh, setidaknya aku pribadi) mengangguk senyum dan tersadar serta terinspirasi seperti inilah yang membuat kekagumanku tidak pernah fluktuatif bahkan semakin aku gede seperti sekarang, semakin nambah rasa kagumnya.



Sekitar pukul satu siang (sejujurnya aku juga tidak yakin). Aku masih membaca cerpen So-Pi. Sudah di tengah-tengah. Asik menikmati sambil sesekali terhaha-haha. Tiba-tiba guntur sepertinya mengamuk di luar sana, suaranya menggelegar bikin kaget-kaget. Berkali-kali. Sampai pada saat gelegar yang paling besar, bersamaan dengan mati lampu. (Pas menulis kata ‘mati lampu’ ini, kamar kosku juga tiba-tiba padam lampunya). Sekonyong-konyong pengunjung perpustakaan kompak seperti dipandu alam merebahkan tangan di atas dada masing-masing diiringi berbagai seruan responsif. Aku sendiri spontan berucap astagfirullah. Aku tengok ke luar dari tempatku duduk, hujan semakin menjadi-jadi derasnya. Meskipun sempat terganggu, namun para pengunjung tetap melanjutkan aktivitas masing-masing. Yang masih cari-cari buku di rak tampak berusaha lebih keras lagi. Mata mereka diaktivasi lebih tajam dibantu kepala dan leher yang semakin maju.


Untunglah, kami terbantu oleh lampu baterei yang disediakan oleh perpustakaan. Tapi karena persediannya terbatas, maka lampu itu diambil kembali oleh seorang pustakawan untuk diletakkan di meja peminjaman. Lebih penting ditaruh di situ katanya. Benar juga, sebab di situ memang lebih gelap, sementara ruang pembaca masih terbantu oleh cahaya dari luar yang masuk melalui pintu dan jendela kaca besar di samping.


Hujan memang deras di luar sana. Namun tak terasa dingin bagiku. Sensasi selama mencicipi Filosofi Kopi dan jaket Polo merah kesayanganku yang membungkus badan memberi rasa hangat yang sudah lebih dari cukup. Untunglah aku pakai jaket ini, seruku dalam hati. Aku juga nampaknya hanya nurut oleh perintah alam untuk mengenakannya, karena sebelumnya aku tidak tahu mau pakai apa ke kampus. Pakaianku masih banyak yang kotor, belum dicuci, membuntel di pojokan kamar. Sementara yang masih bersih terlipat tidak mau aku pakai dulu. Masalahnya cuaca tidak menentu, saat pagi terik, sorenya hujan. Mencuci jadi pekerjaan yang nyaris sia-sia.


Aku merogoh saku celana medanku untuk mengambil ponsel. Aku lihat jam, sudah 13.38. Astaga, aku hampir lupa janji kembali ke kampus! So-Pi sebentar lagi kutuntaskan. Hujan juga sudah sediikit-agak-reda. Tapi aku merasa malas ke sana. Lagipula temanku tidak kirim sms. Aku berpikir sebaiknya aku kembali ke kos saja sebelum hujan deras lagi. Buku Filosofi Kopi pun aku pinjam untuk dibawa pulang, setelah So-Pi selesai kubaca. Niat awal 100% berubah.


Akhirnya aku pulang dengan basah. Sedikit-agak-reda yang kulihat tadi ternyata jika dirasa adalah hujan deras yang tetes-tetes airnya hanya berkurang sedikit jumlahnya, tapi dengan kecepatan yang sama. Meskipun lampu lalu lintas juga ikut turn-off saat puncak gelegar guntur tadi, polisi tetap turun ke jalan. Aku dan pengendara lain yang tadinya mau terus maju, berhenti oleh bunyi peluit dan telapak tangan polisi. Hebat, bapak polisi itu seperti seorang sakti yang dari telapak tangannya keluar kekuatan penghalau massal. Tinggalah kami yang diguyur hujan. Ah, biarlah, nikmati saja hujan ini!, seruku dalam hati. Sepeda pun kugowes pelan dan hood jaket kulepas. Kubiarkan setiap tetes jatuh menusuk-nusuk di kepala dan badan. Sudah lama aku tidak main hujan, sampai lupa kapan terakhir kalinya.


Yogyakarta, 4 November 2010


*gambar dipinjam dari sini, sana, dan situ*

Sabtu, 18 September 2010


Tomoe, Sekolah dengan Nurani

Sudah begitu banyak kritik terhadap sistem dunia pendidikan khususnya di negeri ini. Pertanyaan dan pernyataan mengenai apa yang salah dari sistem pendidikan negeri kita sudah begitu sering dilontarkan dan diperdebatkan, baik di seminar-seminar, media (cetak dan elektronik), bahkan pun di warung makan kaki lima oleh para pedagang. Semua punya keluhan, semua berargumen, semua punya keresahan dan kekhawatiran. Apa yang salah?

Nurani. Mungkin cuma itu jawabannya. Ya, itulah, nurani. Sebab semua permasalahan di negeri ini jika mau dirunut sampai ke akar-akarnya akan bermuara di masalah nurani. Kita semua sepakat korupsi itu merusak, kita semua tahu yang namanya birokrasi pasti selalu merepotkan dan bikin jengkel. Namun tetap saja itu semua terus terjadi, bahkan masih banyak. Nurani. Singkat memang namun tidak gampang. Apalagi di dunia global yang penuh godaan sekarang ini.

Tak terkecuali untuk problematika dunia persekolahan negeri kita, akar masalahnya juga di nurani. Pertanyaan menantang selanjutnya, siapkah para pendidik kita menggunakan nuraninya dengan sungguh-sungguh demi sebuah cita-cita yang nyaris tinggal sebaris kalimat indah tanpa punya makna, ‘mencerdaskan kehidupan bangsa’?

Dalam buku Totto-chan Gadis Cilik di Jendela yang baru selesai saya baca, saya berani menyimpulkan bahwa Sosaku Kobayashi adalah pendidik sejati karena bernurani. Dia tahu bagaimana mendidik anak-anak, tidak hanya mengajari mereka. Dan dia menjadi pendidik bukan karena kebetulan dan keberuntungan semata melalui proses seleksi tenaga guru yang persyaratannya membutuhkan setumpuk ijazah dan sertifikat yang notabene belum menjamin kualitas pendidiknya.

Dia pernah ke Eropa menyaksikan langsung bagaimana murid-murid di sana dididik dengan baik. Dia juga mengamati bagaimana anaknya berjalan dan menggerakkan tubuhnya saat mendengar irama musik dan bagaimana anaknya belajar berjalan. Melalui pengamatan dan pengalaman yang diproses dengan baik, jadilah dia seorang pendidik sejati yang selalu menggunakan nuraninya dalam mendidik murid-muridnya.

Salah seorang muridnya bernama Totto-chan, adalah gadis cilik periang yang penuh rasa ingin tahu. Saking penuhnya rasa ingin tahunya itu, saat masih kelas satu sekolah dasar, dia dipindahkan secara diam-diam atas permintaan gurunya dari sekolah lamanya karena suka duduk dekat jendela berbicara dengan burung, memanggil pemusik jalanan yang lewat dan mengajak teman-temannya ikut menonton mereka bermain musik dengan nyaring, dan sering membuka-tutup-buka-tutup mejanya yang bikin ganggu proses belajar mengajar dalam kelas. Oleh ibunya, dia dimasukkan ke sekolah unik bernama Tomoe.

Tomoe sungguh bukan sekolah biasa. Para murid bebas memilih pelajaran yang akan dipelajari terlebih dahulu tanpa urutan yang lazim, sesuai kemauan dan kesukaan mereka masing-masing. Makanya ada yang memulai dengan mengarang, berhitung, atau berkutat dengan ekperimen ilmiah. Tinggal tanya ke guru kalau ada yang perlu dikonsultasikan. Tidak ada pengaturan bangku tetap, jadi para murid bebas duduk di mana saja sesuka hati. Mr. Kobayashi –dalam buku tersebut, begitu dia dipanggil murid-muridnya- tahu anak-anak tidak suka terlalu diatur-atur karena memang jiwa anak-anak itu bebas. Inilah yang disebut Goenawan Mohamad sebagai kebebasan jiwa dan kegembiraan mencari dalam catatan pinggirnya tertanggal 22 Januari 1983 berjudul totto-chan.

Gerbangnya merupakan pohon hidup lengkap dengan akar-akarnya yang disebut Totto-chan ‘gerbang yang akan terus tumbuh’ saat pertama kali melihatnya. Ruangan kelasnya adalah gerbong-gerbong kereta. Namun sekolah itu bukan sembarangan, sekali lagi. Dari sana ada yang berhasil menjadi tokoh fisikawan penting yang sungguh jenius, ahli anggrek, pakar holtikultura, dan tentu saja Totto-chan sendiri, bintang televisi Jepang, penulis, juga Duta Kemanusiaan UNICEF yang begitu mahsyur. Itulah Tomoe. Sekolah yang dibangun dengan hati nurani. Di sanalah Totto-chan menemukan sebuah dunia baru. Di Tomoe pulalah, di dalam kelas gerbong-gerbong kereta itu, Totto-chan menempuh perjalanan masa kecilnya yang sungguh menarik dan menyenangkan bersama teman-temannya.

Ada satu kutipan yang saya sangat suka dalam buku itu dan agaknya akan bermanfaat untuk menyentil kesadaran kita, khusunya para pendidik dan orang tua. Bunyinya mirip-mirip begini, “Jika kelak murid-murid Tomoe menjadi pendidik, mereka akan menjadi pendidik yang baik sebab mereka tahu bagaimana menyenangkannya menjadi anak-anak”.

Silakan dibaca dan selamat terharu, tersenyum, dan tertawa selama menempuh perjalanan di gerbong-gerbong Tomoe bersama Totto-chan!

Minggu, 20 September 2009


To Kill A Mockingbird

"Kita tidak akan pernah bisa memahami seseorang sampai kita melihat segala sesuatu dari sudut pandangnya, masuk ke dalam kulit-kulitnya, dan menjalani hidup dengan caranya" karakter Atticus Finch


Itulah ungkapan pembuka novel ini yang langsung memaku perhatian saya untuk membacanya. Sebuah novel yang sangat indah tentang kasih sayang dan prasangka.

To Kill A Mockingbird ditulis oleh Harper Lee, sastrawan berkebangsaan Amerika, berdasarkan pengamatannya terhadap keluarga dan tetangga-tetangganya sewaktu ia masih 10 tahun. Memenangkan penghargaan Pulitzer 1961.

Novel pertamanya ini juga telah difilmkan oleh Robert Mulligan dan mendapat penghargaan sebagai film terbaik sepanjang masa versi film hukum pengadilan. Dengan setting suatu daerah pemukiman di Maycomb County, Alabama, membawa saya ke dalam cerita yang sangat menyentuh, kadang humoris, dan sering membuat saya membaca berulang-ulang bilamana menemukan ungkapan yang ‘menyentil’ kesadaran dan sisi kemanusiaan, lalu merenung sebentar setelah itu. Karakter-karakternya sungguh hidup dan pantas dikenang. Dialog-dialognya bernas. Suasana dan tempat juga digambarkan dengan indah. Buku ini bikin gregetan!

Dikisahkan dari sudut pandang seorang gadis kecil berumur belum 10 yang nakal tapi cerdas, buku ini bercerita mengenai Atticus Finch, seorang pengacara yang sungguh berkarakter; bijaksana dan karismatik, yang kehidupan keluarganya banyak berubah semenjak ia memutuskan dengan berani untuk membela seorang kaum Nigger yang dituduh menjahati keperawanan seorang gadis muda berkulit putih. Banyak yang menolak keras keputusannya apalagi mencemooh bahwa seorang kulit putih tidak pantas membela seorang kulit hitam.

Kedua putra putrinya juga kena ejekan teman-teman mereka di sekolah karenanya. Bahkan pengadilan pun yang menurut Atticus sebagai satu-satunya tempat di mana keadilan adalah keadilan, ternyata para jurinya tidak berhasil jujur dengan nurani mereka. Diskriminasi ras memang menjadi isu yang menyita banyak porsi dalam cerita, namun disajikan dengan sangat baik sejak awal.

Selain itu, kisah mengenai keluarga Radley yang misterius yang rumahnya dianggap ‘angker’ oleh para tetangga sehingga tidak ada yang berani bergaul dengan mereka, bahkan takut jika lewat depan rumahnya merupakan kisah mengenai prasangka dan kasih sayang yang begitu menggugah.

Arthur ‘Boo’ Radley, seorang pemuda yang tidak pernah keluar rumah selama dua puluh lima tahun. Masa belianya yang berantakan dan didikan ayahnya yang sangat keras membuat ia menjadi karakter yang misterius dan ditakuti semua orang. Desas-desus yang berkembang bahwa ia tidak segan-segan menyakiti siapa pun, sekali pun dirinya sendiri bahkan ibu kandungnya. Ia dicap berkelainan jiwa.

Di akhir cerita, semua prasangka itu terbantahkan. Arthur, si physco menurut orang, ternyata dialah selama ini yang menaruh berbagai macam hadiah di pohon ek besar di halaman rumahnya, mulai dari jam tangan tua yang sudah rusak, permen karet, kotak mainan, sampai sepasang boneka laki-laki dan perempuan untuk Jem dan Scout, putra putri Atticus yang setiap pergi dan pulang sekolah melewati pohon itu. Ia jugalah yang menolong dan menyelamatkan keduanya ketika akan dibunuh oleh Bob Ewell, pria tua yang dendam terhadap Atticus karena telah membuatnya malu di pengadilan. Semua itu merupakan ungkapan terima kasih Arthur kepada Jem dan Scout yang setiap liburan musim panas selalu sembunyi-sembunyi karena takut namun penasaran, mencoba mengajaknya keluar bermain bersama mereka. Aah, indah sekali ceritanya!