Tampilkan postingan dengan label Meliburkan Diri. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Meliburkan Diri. Tampilkan semua postingan

Jumat, 06 Januari 2012

Meliburkan Diri #3: Ada Ragunan di Busway

Jakarta, 28 Desember 2011

Masih dalam rangka meliburkan diri di Jakarta, siang tadi saya kembali jalan-jalan bersama teman saya. Kami cuma berdua. Sebenarnya sesuai janji awal kemarin-kemarinnya, ada empat orang yang akan berangkat, namun karena satu dan lain lagi, dua orang lainnya tidak jadi ikut.

Destinasi pertama adalah Kebun Binatang Ragunan yang berlokasi di selatan Jakarta. Sekitar hampir pukul 11 siang, saya berangkat ke sana dengan busway dari halte Layur di daerah Rawamangun, Jakarta Timur. Sementara itu, teman saya berangkat dari rumahnya di Condet (Jak-Tim juga) dengan motor langsung menuju Ragunan. Kami janjian di sana.

Ada pengalaman lucu nan menarik di busway. Di dalam moda transportasi yang selalu full dan sesak itu, ada seorang ibu dan anaknya yang masih kecil berdiri di dalam busway karena tidak kebagian tempat duduk. Saya pun bertanya-tanya dalam hati kok ibunya berdiri ya. Saya heran karena pas di depan saya berdiri (saya juga tidak kebagian tempat duduk karena sudah ful), ada stiker berukuran kira-kira 30x20 cm bertuliskan "Tempat Duduk Prioritas/Priority Seat" di mana prioritas tersebut ditujukan untuk 4 jenis penumpang: wanita hamil, lansia, penyandang cacat, dan ibu dengan anak kecil. Saya pun sedikit kesal melihat beberapa pria yang sehat walafiat tapi seakan tidak peduli dengan ibu itu yang sudah protes,"percuma ada stiker itu ditempel" sambil senyum-senyum ngeledek.

Karena sudah tidak tahan, ibunya pindah tempat ke bagian depan, bagian yang memang diperuntukkan khusus untuk wanita alias ladies room. Mungkin karena kesalnya si ibu sudah di ubun-ubun, ia akhirnya mengomel a-i-u-e-o dengan volume suara yang jauh lebih kencang. Petugas busway akhirnya berucap,"tolong prioritaskan ibu yang ada anaknya ini" kepada para penumpang. Tapi si ibu langsung nyolot,"Ga usah! Percuma ada stiker...." bla bla bla. Nama Indonesia dan pelayanan publiknya pun seperti biasa, kembali dibawa-bawa.

Selepas ibu itu turun, masuk lagi penumpang-penumpang lain yang anehnya, malah makin banyak yang membawa anak-anak. Petugas busway segera kembali berseru, menyuarakan isi stiker.

Oleh karena jarak Rawamangun-Ragunan terbilang jauh, maka saya harus melewati beberapa halte dan harus menyambung bus di halte yang namanya Dukuh Atas 2. Di halte ini, semua penumpang turun sebab ini memang pemberhentian terakhir. Dan bagi yang mau lanjut, harus sambung busway.

Berbeda dengan penumpang lain yang pada heboh berebutan keluar dan cari jalan, saya anteng-anteng saja karena saya memang gatau mau ke mana, hahaha. Saya pun langsung bertanya ke petugas jaga dan langsung dapat petunjuk. "Oh silakan di pintu paling pojok". Ternyata tidak jauh dari tempat saya bertanya. Saya pun langsung ke situ, mengantre lagi dan lagi.

Busway yang dinanti-nanti akhirnya tiba. Semua calon penumpang yang antre kembali riuh rendah menyambut kedatangan busway tersebut. Dan ketika pintu busway terbuka, semua langsung berhamburan masuk. Pernah liat di tipi-tipi fenomena antrean BLT atau zakat fitrah yang pintu aksesnya sempit? Nah, kira-kira seperti itulah kehebohannya.

Masuk di dalam bus, saat pintunya sudah mau ditutup, ada yang saya dengar mencari-cari sanak keluarganya. "Eh bapak mana?". Akhirnya si bapak yang dicari-cari itu ketemu entah di mana. Saya tidak memperhatikan karena padat dan sesak sungguh-sangat-sekali.

Ada lagi yang lebih lucu. Satu lagi seorang ibu yang ketika pintu bus sudah hampir menutup, ia segera menginterupsi. Rupanya, suami dan anaknya masih di luar, di halte, belum naik bus. Saya terhaha hihi dalam hati melihat drama 'bapak dan suami saya mana' ini.

Belum berakhir kelucuan di busway ini. Setelah melewati Dukuh Atas 2 dan mulai memasuki kawasan Kuningan yang haltenya lumayan banyak itu, saya merasa ada yang aneh. Saya perhatikan, kebanyakan penumpang adalah ibu-ibu, bapak-bapak, dan anak kecil. Mereka juga sungguh berisik. Ada yang bercanda dengan anak balitanya, ada yang sibuk menenangkan bayinya yang nangis, dll.

Perasaan aneh saya itu segera terjawab saat mencuri dengar pembicaraan seorang bapak dengan entah siapanya lewat hp. Bapak yang berdiri tepat di belakang saya itu sempat berkata "Gue mau ke ragunan nih bareng keluarga". Mendengar ini, saya langsung ngeh oh berarti yang dalam busway ini adalah kumpulan keluarga yang entah saling kenal atau tidak, tujuannya adalah ke Ragunan juga. Saya pun segera teringat rute yang saya baca di halte Dukuh Atas 2, bahwa pemberhentian terakhir dari situ memang adalah Ragunan. Saya juga segera teringat bahwa ini sudah liburan sekolah. Pantes saja!

Sepanjang jalan, saya lagi-lagi merasa terasing seperti waktu ikut susur Ciliwung kemarin. Selain itu, saya merasa hampir tidak ada bedanya dengan kursi-kursi, kaca jendela, wadah pegangan, dan segala makhluk tak bernafas lainnya dalam busway itu menyaksikan kehebohan keluarga-keluarga ini. Bedanya, saya adalah saksi hidup sementara makhluk-makhluk tak bernafas itu sebut saja saksi bisu.

Rasa keterasingan ini semakin bertambah ketika si mbak-mbak di mesin otomatis busway ngomong "Para penumpang yang terhormat, sebentar lagi kita akan tiba di halte Ragunan. Halte ini merupakan pemberhentian terakhir..,bla bla bla". Para keluarga terutama para bocah dalam bus segera berseru hiyeee, wohoooo, yeeeess, lalala lilili lululu semacamnya itulah. Sungguh, saya tersenyum dengan kehebohan yang serba ganjil ini. Ganjil karena saya merasa seperti salah bus, seperti naik bus pariwisata yang disewa oleh satu keluarga besar. Rasanya saya sudah di Ragunan sejak tadi!

Selasa, 27 Desember 2011

Meliburkan Diri #2: Susur Ciliwung

Jakarta, 23 Desember 2011.

Kegiatan pertama di Jakarta dalam rangka meliburkan diri adalah ikut kelas teman saya di kampusnya. Teman saya anak teknik elektro UI, dan dia mengajak saya ikut kelasnya jam 10 pagi. Dia ada presentasi katanya. Saya pun tertarik meskipun awalnya sedikit canggung karena selain pakai sendal dan belum mandi (hanya cuci muka), saya tidak kenal siapa-siapa selain dia seorang.

Tanpa saya nyana, saya diperkenalkan oleh teman saya kepada teman angkatannya yang asli Jogja. Dia alumni SMU 1 Yogyakarta yang di Jogja sekolah itu terkenal dengan sebutan ‘teladan’. Kami pun mengobrol, dan rupanya dia juga hobi munggah (naik) gunung. Pembicaraan pun semakin mengalir meski kemudian dia pindah tempat ke teman-teman sekelompok presentasinya.

Singkat cerita, saya duduk di bagian belakang kelas. Saya memanfaatkan momen ini untuk mengamati anak-anak UI sekaligus membandingkan mahasiswa Jakarta dengan mahasiswa ‘Jawa’. Memang ada perbedaan. Keduanya punya ciri khas. Mahasiswa Jakarta cenderung ‘semau gue’ dan mahasiswa Jawa cenderung ‘alon-alon waton kelakon’. Halah!

Malam harinya, saya sedang dalam jaringan (online) di twitter. Di linimasa (timeline), ada twit dari @tjiliwoeng yang di retweet oleh @generationid. Isinya mengundang siapa pun bagi yang ingin ikut susur Sungai Ciliwung dengan perahu karet keesokan paginya, jam 8. Saya pun langsung tertarik dan menghubungi contact person nya.

***
Jakarta, 24 desember 2011

Besoknya, sabtu pagi mendekati jam 8, dengan berbekal informasi dari teman yang saya tumpangi apartemennya di Margonda Residence, saya berangkat ke Stasiun Pondok Cina di daerah Depok. Berdasarkan informasi contact person tadi, di situlah tempat kumpul sebelum berangkat. Meski sebenarnya masih sangat mengantuk tapi saya juga sungguh semangat. Saya membranikan diri menyusuri gang-gang sempit dan rel-rel kereta sekitar kampus UI.

Singkat cerita, tibalah saya di ondok cina. Sekitar setengah jam menunggu dan sepengamatan saya tidak ada tanda-tanda rombongan @tjiliwoeng itu, saya mengirim pesan ke contact person nya. Rupanya kumpulnya di Gramedia, seberang jalan stasiun. Saya pun langsung ke sana. Di sana, sudah ada beberapa orang yang berkumpul.

Awalnya saya berjalan melewati rombongan itu, meskipun sudah melihat seorang gemuk berkaos hijau dengan tulisan "Komunitas Peduli Ciliwung Bogor". Saya lewati dulu karena saya bingung harus berkenalan bagaimana. Akhirnya setelah kira-kira 2 meter lewat, saya kembali dan langsung nyamber "Mas, ini yang mau susur ciliwung itu ya?" dan alhamdulillah segera dijawab iya. Dia dan seorang temannya menanyakan saya dari mana, sama siapa, dan tahu informasi susur ini dari mana. Saya pun menjelaskan.

Melihat rombongan yang mau berangkat, saya seketika kaget. Pertama, karena rata-rata dari rombongan itu punya kenalan, sementara saya tidak. Ada yang sekeluarga dan ada juga yang bareng teman-temannya. Awalnya saya sudah mengajak dua orang teman saya, tapi karena satu dan lain hal mereka tidak ikut. Jadilah, saya betul-betul sendirian. Hal kedua yang bikin saya surprised adalah bahwa dalam rombongan itu, ada juga beberapa dari media: metro tv, tv one, mnc tv, tempo, dan beritasatu.com. Saya kira, ini adalah kegiatan yang dilakukan oleh komunitas kecil plus tidak populer dan yang ikut paling beberapa orang, serta sama sekali tidak kepikiran akan ada media yang ikut serta. Tapi sutralah, saya toh tetap santai saja!

Sekitar jam 9 lewat kami berangkat. Ada sekitar 7 mobil kalau saya tidak salah ingat. Saya semobil dengan kru beritasatu.com. Salah seorang krunya mengajak berkenalan dan mengobrol. Dia bertanya-tanya bagaimana ceritanya saya bisa ikut kegiatan ini. Mendengar kronologi keikutsertaan saya di mana ada alur Makassar-Jogja-Jakarta-Depok di dalamnya, dia langsung berkomentar,"Wah iseng juga lu ya ikut beginian. Tapi baguslah!". Dan saat kru tersebut tahu bahwa saya kuliah di jurusan Antropologi Budaya, saya kaget mendegar respon mereka yang serentak,"Waaah, hebat..hebat!". Kagetnya saya adalah bahwa sangat jarang saya mendengar respon seperti itu setiap kali mengucapkan nama jurusan saya. Kalau bukan 'gali batu', ya 'liat-liat bintang' yang seringnya saya temui. Tapi kali ini, saya senang dan cukup bangga mendengarnya.

Tempat berkumpul kedua sebelum berangkat tidak jauh dari Gramedia Depok, ditempuh dengan berjalan kaki pun bisa. Di situ, segala persiapan dilakukan. Perahu-perahu karet yang asoy geboy itu yang akan digunakan untuk penyusuran, dimpompa terlebih dahulu. Saat briefing dan sebelum berdoa, saya baru tahu bahwa selain dari individu, kelompok, dan media, ada beberapa komunitas yang terlibat, seperti Green Camp Halimun sebagai penyedia perahu karet, Komunitas Histeria Indonesia, Komunitas Ciliwung Condet, dan ada lagi tapi saya lupa. Saat briefing tersebut, mereka menjelaskan kegiatan-kegiatan mereka yang membuat saya salut akan kecintaan mereka terhadap konservasi alam, terutama ciliwung.

***

Setelah berdoa, kami pun berangkat. Totalnya ada 4 perahu, dengan 8 penumpang setiap perahunya. Saya seperahu dengan rombongan Tempo, TvOne, seorang fotografer perempuan, seorang bapak yang katanya tahu banyak tentang ciliwung dan kegiatan susur ini, seorang dari Green Camp Halimun, dan lagi-lagi kru beritasatu.com. Salah seorang kru dari beritasatu.com ini yang duduk bersebelahan di baris kedua dalam mobil tadi sudah terbiasa menyapa saya dengan "Fik" layaknya sudah akrab, padahal saya sendiri sebenarnya lupa namanya. :)

Meskipun saya merasa asing dan konyol dengan diri saya sendiri ikut kegiatan ini, tapi saya senang. Saya mendapatkan pengalaman yang seru dan berharga. Perahu kami adalah satu-satunya perahu yang tidak bermesin motor. Jadi digerakkan dengan manual: didayung. Sepanjang penyusuran berkali-kali kami melewati arus yang cukup deras, perahu terombang ambing, kecipratan air ciliwung, ketahan bambu-bambu dan sampah di tengah-tengah sungai. Untungnya rekan-rekan media dan komunitas itu punya selera humor yang oke punya. Jadi meskipun sebenarnya kami lumayan was-was setiap kali melihat arus yang cukup deras di depan sana, kami pasti sudah terhibur duluan. Apalagi semuanya bawa kamera dan balckberry (kecuali saya yang tidak punya BB). Ungkapan-ungkapan seperti wah, kamera gua nih!, gua sih kaga apa-apa, tapi kameranya, atau eh BB..BB mending dimasukin plastik sini membuat saya sadar bahwa untuk manusia zaman sekarang, gadget itu lebih berharga dari diri sendiri :p

Setelah kurang lebih dari 2 jam penyusuran, kami tina di pos pertama. Lokasinya di bawah jembatan. Di situ, kami minum dan makan roti yang disediakan penyelenggara dan beristirahat sejenak serta memompa perahu yang agak kempes. Salah seorang memberi instruksi bahwa masih ada beberapa pos, jadi bagi yang ingin melewati jalur darat, silakan bertukar karena masih ada beberapa peserta yang belum ikut susur sungai lewat jalur sungai. Saya dan beberapa orang memustuskan untuk tukaran. Tapi bagi saya pribadi, saya merasa cukup sampai di sini keikutsertaan saya. Selain sudah capek, saya ada janji sama teman mau ke acara Holy Market, yakni acara garage sale yang diselenggarakan oleh Ruang Rupa (komunitas seniman Jakarta) di bilangan Tebet, Jakarta Selatan. Akhirnya, saya pun ngacir. Ini kali pertama saya manjat tanah-tanah miring, becek dan bau karena penuh sampah. Belum lagi sampahnya sudah bercampur amburadul antara yang organik dengan yang non-organik. Kemiringannya juga lumayan curam dan licin, plus banyak semut dan sarang laba-laba.

Setelah tiba di atas (jalan raya), saya segera naik angkot kembali ke Depok. Lagi-lagi saya surprised. Ternyata, setelah lebih 2 jam penyusuran, pos pertama itu tadi adalah masih di daerah Depok, sekitar 2 kilo dari Margonda Residence, tempat teman saya. Saya kira sudah cukup jauh. Saya kaget karena sewaktu melihat alamat di barisan toko-toko di jalan, tertulis "Jalan Margonda Raya'. Saya pun berseru dalam hati jadi dari tadi itu kita masih di Depok aja nih. Saya jadi mafhum, pantesan baru dua gunung sampah yang dilewati dari 38 titik gunung sampah sampai tempat finish, Condet, Jakarta Timur. Dan tidak sampai 5 menit, saya sudah melihat warung Es Pocong, tempat saya dan teman saya makan tadi malam. Warung ini letaknya tidak jauh dari seberang apartemen teman saya dan mengenai menunya, nama-namanya aneh berbau mistis, seperti mie ronggeng, nasi tuyul, mendoan iblis, sate mayat, lontong setan, dan sebagainya.

Meskipun saya tidak sampai selesai ikut susur ciliwung, saya dapat pengalaman yang seru. Selain itu, saya juga sudah melihat bagaimana orang media ketika off-air dan bagaimana ketika lagi on camera, bagaimana sebagian orang Jakarta memandang ciliwung, apa saja yanag ada di ciliwung, dan sebagainya. Meskipun awalnya saya merasa asing, tapi saya sama sekali tidak pernah menyesal ikut susur ciliwung ini.






Sabtu, 24 Desember 2011

Meliburkan Diri #1: Jakarta

Hari ini, Minggu 25 Desember 2011 adalah hari kedua saya di Jakarta. Saya ke sini dalam rangka 'meliburkan diri'. ‘Meliburkan diri’ ini tidak hanya berarti saya ngacir dari kewajiban kuliah yang sebenarnya masih ada jadwal masuk kelas beberapa kali. Tidak, tidak hanya itu maknanya. ‘Meliburkan diri’ di sini juga berarti bahwa saya memang ingin liburan, ingin menikmati hari-hari saya dengan kegiatan-kegiatan yang sepenuhnya saya gemari. Pada intinya, meliburkan diri adalah upaya saya mengakrabkan diri dengan diri sendiri.

Saya sangat suka meliburkan diri. Saya lakukan ini tak kenal waktu, entah lagi sibuk-sibuknya kuliah atau berorganisasi, entah lagi bingung di kos tidak ada kerjaan, atau bahkan saat liburan. Toh banyak orang yang tidak bisa menikmati hari liburnya sekalipun itu pas liburan datang. Dan sayangnya, saya juga biasa demikian. Jadi, saya ciptakan sendiri waktu-waktu libur saya, dan saya beri nama 'meliburkan diri'. Saya lakukan itu kapan pun dan di mana pun sesuka saya. Khas kaum urban banget ya? Ah, apalah!

Banyak cara yang saya lakukan dalam meliburkan diri. Misalnya, saat saya sedang suntuk to the max akibat rutinitas kuliah yang itu-itu aja, tanpa pikir panjang saya ke suatu tempat sendirian di sore hari (kafe yang menyediakan wifi, perpustakaan, halaman rektorat kampus, taman, dll). Di situ, saya membaca buku, minum minuman yang saya beli di jalan, melihat-lihat orang yang berkeliaran, melihat-lihat langit, dan sebagainya sambil senyum-senyum sendiri. Sebut saja kegiatan ini ‘mengobservasi semesta’.

Forever alone katamu? Apalah! Bagi saya ini happiness in loneliness! (tepuk tangan sendiri). Toh, saya yakin yang namanya manusia kadang butuh untuk menikmati kesendiriannya.

Rawamangun, 25 Desember 2011