Tampilkan postingan dengan label catatan biasa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label catatan biasa. Tampilkan semua postingan

Minggu, 15 September 2013

I Gave Up My Blackberry: Lesson Learned From My German Friends


What I'm going to share here is already a rotten issue cause it happened nearly month ago (rotten, isn't it?). Okay, not actual.

Today, I met 2 new friends from Germany. Actually, I met them before in their country 3 months ago but we didn't really get along since they were my friend's flatmates and i only came to visit them once. Just now, I took them both to a play in Taman Budaya Jogjakarta (Jogjakarta Cultural Park). Before it got started, they told me in wonder that some people they saw in the street including the cheapjacks (Pedagang Kaki Lima or PKL) had smartphones or even tablets. They were saying this because they had seen many audiences in the cinema shined by the screen light of their smartphones or tablets. Since i didn't really know a better quick answer, I just said something like "yeah, it's common in here". A friend of mine, Indonesian, seated next to me responded it's because smartphones in Indonesia are quite cheap. I didn't really agree, so did my German friends. I corrected my Indonesian friend by saying 'for some people'. My German friend continued, he said he looked for Iphone because he thought it's gonna be cheaper than in his country but it's evidently not really. The price distance was not that far. Before we continued the talk, the play started on.

What we just short discussed, reminded me of my blackberry. I used to have BB (blackberry simply said). Actually it was a quite long consideration of buying that a year ago. At first, I should admit that i really wanna know how does it feel to having BB of my own. So I bought one, the very cheap type (or the cheapest?), but with my own money which made me proud enough because I felt not easy to ask my parents as my promise to myself of buying some private stuff by my own. Later on, I realized that work tradition in Indonesia at some level makes the workers use smartphones, any kinds, as long as they have BBM (balckberry messager or whatsApp, or line, or else you name it for chatting and group discussion on behalf of the work purpose (or gossiping as well). Especially for my work that I've been doing. I'm one of the promotion staffs of one book publisher in Jogja, and I have to keep the people updated about the products or events we have thru social media (facebook & twitter which most Indonesian people familiar of). So, I think I'm not exaggerating if I say I need at least one smartphone because I have to be tweeting or facebooking like any time any where based on the shift hours been shared. I and other promotion staffs always discussed through whatsapp. But it no longer happens. I mean, I don't have BB anymore. I'm still working in that office tho.

As I bought it by my own consideration and bucks, I gave it up also still by my own. It's because what I learned back in Germany. I met some cool people there and conversed with them some random things. From the talks and from my observations, many of the Germans (not saying all, just the ones I encountered with) can still have a happy and enjoyable life without getting attached to sophisticated phones. The most important, they're very thoughtful, independent, and....they travel a lot, the thing I'm fond of. I'm not talking about the connection between not having smartphones and having a happy life. All I'm saying is they still alive without those stuff. That's what I learned the most. That's what I'm trying to do. That's what made me give up my BB.

Again, I should admit somehow I still want to take it back, especially in my condition now that I'm still working in that very industry and I've been always missing some discussions from whatsapp. But then, nobody else will whisper me back but myself if I have to try to loose it. Besides, I will resign by the end of this month. Yeeeeeeeeyyyyy (oohhhh... I gotta say I feel so released even I'm not taking off yet, but it's close).

Another reason, I feel annoyed having 2 phones. It is  a yes that many Indonesians have more than one single phone. In my case, I have two because my old phone that I'm still using now (the regular and cheap Nokia) is the 'main' one, and the BB WAS most for BBM-ing and work whatsapp-ing. In others case, I'm afraid I don't know. Just ask them.

I'm not sure weather in the future times I have android or IPhone or else, I don't want to be a coward. Nevertheless, at the moment, honestly, I feel pretty much better because I can do other things instead of checking the recent updates or keeping my eyes on the red sign for new notifications either from BBM, whatsapp, or social media. I feel more released.

In life, there are things that have to be loosed, or at least to be used to for then we know what is it like to be tied up.

Senin, 29 Agustus 2011

Ramadhan, Si Pengantar Paket

Saya selalu membayangkan bulan ramadhan seperti seorang pengantar paket yang sering datang tanpa punya shift khusus selama sebulan dalam setahun. Ia datang dengan dua cara, diundang atau pun tanpa tedeng aling-aling tiba-tiba mengetuk pintu kamar saya -yang merupakan permisalan dari pintu hati karena keduanya sama-sama memuat konten privasi- dengan paket-paket yang dibawanya. Isi paket yang dibawa bermacam-macam, bisa berbentuk pesan moral, pesan spiritual, atau ia juga terkadang membawa seperangkat bahan untuk diingat dan direnungkan.

Siapa pun Anda yang pernah duduk di bangku sekolah dasar, mungkin sekali masih ingat dengan buku amaliyah ramadhan. Sebuah buku yang terlambat untuk saya sadari betul sebagai buku yang sungguh merepotkan dan menyebalkan. Betapa tidak, setiap hari saya harus menguber-uber seseorang yang disebut-sebut sebagai ulama atau dai atau ustadz atau penceramah hanya untuk meminta tanda tangannya. Tapi saya tidak sebodoh itu. Saya memanipulasi tanda tangan mereka dengan alasan simpel; malas. Saya hanya tidak mengerti kenapa anak kecil seperti saya waktu itu disuruh mengejar-ngejar tanda-tangan orang-orang yang sama sekali bukan idola saya, orang-orang yang tidak saya kenal, yang tidak memberi kontribusi apa-apa dalam hidup saya, bahkan tidak menambah pahala puasa saya. Ya memang, karena kepentingan saya dengan orang-orang itu hanya sampai di urusan tanda tangan.

Keresahan saya tidak berhenti sampai di situ rupanya. Selanjutnya saya bertanya-tanya kenapa ibadah seseorang harus dibuktikan lewat daftar kegiatan selama sebulan penuh dari bangun tidur sampai bangun lagi dalam buku amaliyah tersebut. Kenapa orang-orang suka sekali menghitung ibadah orang lain, kenapa tidak mengurusi ibadahnya sendiri. Bagi saya ibadah-ibadah yang eksistensial seperti sholat, mengaji, bersedekah, dan sebagainya adalah urusan masing-masing dengan Tuhan. Orang-orang di jajaran birokrasi sekolah itu terlalu sibuk mengurusi hal-hal yang di permukaan, sehingga lupa (atau buta?) bahwa yang penting sebenarnya adalah esensi dari beribadahnya seseorang. Dan esensi itu tidak bisa dihitung atau diukur.

Terkesan idealis? Mungkin. Tapi rupanya dalam prakteknya saya pragmatis. Tunggu, apa jangan-jangan pragmatisme itu merupakan idealisme juga? Entahlah, yang jelas saya manut mengisi buku amaliyah tersebut sampai penuh, sekali lagi meskipun banyakan bohongnya. Saya memilih sikap seperti ini bukan tanpa alasan. Saya malas berurusan lagi nanti dengan guru agama saya, berdebat dengan dia, berargumentasi panjang lebar tentang pandangan saya. Saya yakin hanya akan tampak seperti kekonyolan debat kusir yang tidak mengubah dan menghasilkan apa pun, selain makin 'hati-hati'nya guru saya terhadap saya. Saya tahu guru-guru agama saya soalnya.

Seseorang pernah berkata kepada saya secara pribadi bahwa tidak apa-apa kita ikut di suatu arus, yang penting kita sadar seperti apa arusnya. Karena waktu itu saya masih ABG, saya tidak ngerti-ngerti amat apa maksudnya. Baru sekarang saya mulai paham bahwa kesadaran itu memang penting, kapan pun dan di mana pun, serta apa pun yang kita lakukan. Sadar beda dengan tahu. Kita tahu apa yang kita lakukan, tapi kita tidak sadar. Seperti itulah maksudnya, mungkin. Dan untuk kasus buku amaliyah, saya sadar bahwa itu bukan murni kekonyolan guru agama saya. Saya sadar bahwa ada suatu sistem yang tidak berwajah tapi jahatnya seperti monster-monster Power Ranger yang membentuk beliau. Sistem itu bernama kurikulum pendidikan. Sistem tersebut ditambah dengan dogma-dogma agama versi guru agama saya lah yang melahirkan suatu produk yang tidak lucu tapi bikin ketawa bernama buku amaliyah ramadhan. Sayangnya, guru agama saya mungkin tidak menyadari itu.

Apa yang sudah saya bahas di atas hanyalah salah satu dari konten paket yang dibawa ramadhan untuk saya ingat dan renungkan. Masih banyak sebenanarnya paket lain yang menarik untuk diolah-pikir. Apa pun itu, saya ingin bilang bahwa ramadhan memang persis kayak tukang antar paket (delivery service) yang bisa datang karena diundang, atau bisa juga secara tiba-tiba. Mengagetkan namun seketika memesona dengan sensasinya. Ya, bulan ini memang penuh pesona dan sensasional.

Selamat menunaikan ibadah puasa.


Yogyakarta, 3 Agustus 2011.

Senin, 03 Mei 2010


Praktek Memaki di Sekolah; Drama Remaja yang Merambah Dunia Internet

Bagi pengguna akun twitter, mungkin tahu kedua nama ini: Marsha dan Rana. Ya, mereka dua ABG yang beberapa waktu lalu terkenal lewat ‘ulahnya’ di situs jejaring sosial tersebut.

Marsha, siswi salah satu SMP swasta di Jakarta memosting sebuah twit yang mengatakan bahwa “SMU Negeri alay”. Sementara Rana, remaja putri yang masih duduk di bangku sekolah menengah atas di kota yang sama sudah lebih dulu ‘naik daun’ gara-gara twitnya yang menyebutkan “pengguna blackberry alay”. Alay merupakan akronim dari anak layangan yang ditujukan bagi orang yang dianggap ‘kampungan’.

Apa yang terjadi setelah mereka memosting twit tersebut?

Para followers Marsha dan Rana menyebarkannnya ke followers mereka lalu disebarkan lagi ke yang lain. Begitulah seterusnya mata rantai penyebarannya sehingga mengantar nama mereka berdua masuk dalam jajaran daftar TT alias trending topics, istilah di twitter untuk menyebut bahasan yang sedang ramai dibicarakan. Daftar-daftar tersebut bisa dilihat oleh seluruh pengguna akun twitter di belahan dunia mana pun. Makanya, ada juga beberapa tweeps (pengguna twitter) asing yang bertanya,”Who’s the hell Marsha?”

Saya, sebagai remaja dan pengguna akun twitter yang cukup aktif juga tentu penasaran dengan Marsha dan Rana. Setelah mendapat cukup informasi (kebetulan Marsha adalah adik kelas seorang teman saya yang di Jakarta sewaktu SMP), saya pun mengunjungi halaman profil twitternya. Saya mengucap ‘waw’ kecil melihat followers Marsha yang 3000-an. Mungkin saja followers dia sebelum tenar tiba-tiba di twitter tidak sebanyak itu.

Membaca beberapa twit Marsha, saya tertawa-tawa kecil. Selain ada twit yang melambungkan namanya dengan mengatakan SMU Negeri alay dan membanggaka-banggakan dirinya sebagai murid sekolah swasta yang disebutnya dengan,”high class”, ada juga beberapa twit di mana dia dan beberapa remaja lain saling serang dengan kata-kata sinis penuh caci maki, tidak jarang pula dengan menggunakan bahasa Inggris. Seperti adegan ‘balas membalas makian tiada henti tanpa ampun’ layaknya film-film remaja produk Hollywood.

Saya juga mengunjungi link foto yang menampilkan potret Marsha berseragam sekolah sedang duduk dengan muka kusut di suatu ruangan. Si peng-upload adalah seorang remaja putri yang mungkin kenal dengan Marsha dan memilki sifat ‘senang meilhat orang malu dan dipermalukan’ ini memberi judul foto tersebut dengan “ini nih si eksis”.

Komentar-komentar di bawah foto yang jumlahnya sangat banyak itu tidak kalah pedasnya. Praktis tidak ada yang menaruh simpati dan belas kasihan terhadap Marsha. Memang ada beberapa yang berkata,” kasihan banget ya” namun ditambah dengan rentetan kata-kata yang membentuk sebuah kalimat caci maki khas remaja metropolitan. Sungguh seperti sinetron!

Marsha sendiri menanggapi semua twit pedas itu dengan ungkapan sinis di statusnya yang kurang lebih seperti ini, “sorry ya, buat kalian-kalian yang gak penting itu, apa urusan lo?”. Persis seperti ketika Luna Maya menanggapi komentar orang-orang yang tidak dikenalnya berkaitan mengenai kasusnya yang sempat geger karena dinilai merendahakan pekerja infotainment yang juga dari sebuah twit beberapa bulan lalu.

Saya akui Marsha dan Rana memang memaki, namun apakah penting dan perlu untuk menanggapi makian remaja seperti mereka yang ternyata menurut saya sungguh sangat sepele dan remeh temeh dengan balas memaki? Tidak adakah bentuk balasan lain yang lebih beretika dan kreatif? Hanya karena kata alay yang keluar dari mulut SEORANG ABG labil seperti Marsha lantas SEMUA sekolah negeri terutama murid-muridnya merasa direndahkan dan dihina? Bukankah biasanya justru jika tersinggung menandakan bahwa yang tersinggung itu memang demikian? Apa sih pengaruh langsungnya bagi kelangsungan hidup dan kegiatan belajar mengajar di sekolah negeri atau bagi kehidupan para pemakai blackberry gara-gara kata alay itu?

Saya sendiri, yang masih belasan tahun dan merupakan lulusan SMU Negeri tahun kemarin sama sekali tidak tersinggung. Lagipula bagi saya semua kata sifat, termasuk alay itu relatif. (Eh, alay termasuk kata sifat kan?). Alay menurutmu, belum tentu alay menurutku, demikian sebaliknya. Tapi karena sudah terlanjur heboh, mari ambil hikmahnya saja bahwa benarlah tagline sebuah iklan yang berbunyi, “mulutmu harimaumu”.

Melihat kasus Marsha dan Rana, saya menyadari sebuah fenomena yang sebetulnya sudah lama terjadi. Praktek memaki yang kerap terjadi di sekolahan antara junior senior menemukan ranah lain yang lebih bebas dan jangkauannya lebih luas. Lebih bebas karena siapa pun bisa menyebarluaskan dan atau merespon apa pun dengan seenak jidatnya. Seperti para komentator pedas di foto Marsha. Mereka bisa seenak hatinya berkomentar seperti itu, toh tidak mungkin keluarga besar Marsha mendatangi satu per satu rumah mereka di suatu malam yang mengejutkan sambil bawa golok.

Selain itu, karena beberapa waktu belakangan ini pembicaraan mengenai RPM Konten Multimedia sedang riuh rendah, saya rasa edukasi mengenai internet, termasuk etika dalam menggunakannya lebih perlu disosialisasikan lebih baik dan kreatif lagi oleh siapa pun, terutama Menkominfo ketimbang membuat peraturan yang sungguh merepotkan, apalagi bagi penyelenggara dan penyedia layanan jasa web hosting. Saya yakin, banyak yang tidak mau lagi ada Marsha-Rana lain di kemudian hari, kecuali yang memang punya penyakit ‘senang meilhat orang malu dan dipermalukan’.

Gambar dari sini

Menyoal facebook #1 : Seberapa Pentingkah Status Fb?

Sepanjang pengalaman dan pengamatan saya ‘menjerumuskan’ diri di facebook, hal yang paling menarik perhatian saya adalah status masyarakat facebook. Masyarakat facebook? Ya, sebab facebook sendiri sudah seperti menjelma menjadi sebuah negara dunia maya yang ‘dihuni’ oleh sekian ratus juta warga negara, eh lebih tepatnya penduduk atau masyarakat. Ia bahkan sangat mungkin lebih heterogen ketimbang Amerika Serikat. Dari jumlah itu, termasuklah di dalamnya sekian juta orang Indonesia. Dan sekian persen dari mereka, empat ratus lebih ada dalam daftar friends saya.

Karena tidak kuliah dulu tahun ini alias nganggur, saya menghabiskan sebagian besar waktu di rumah. Selain membaca, mendengarkan musik, dan menonton film, saya sering online. Hampir setiap hari. Dan setiap sekali membuka facebook, saya pasti senyam senyum, kadang terbahak-bahak, lalu heran, dan sebagainya setiap membaca satu per satu status orang. Ada yang berpuisi, kepuisi-puisian, curhat yang nampaknya ditujukan untuk diri sendiri, mengungkapkan senangnya perasaan mereka setelah kencan bersama sang pacar, kecewa setelah putus, marah-marah, merutuk, mengumpat dan menghina orang yang baru tadi dilihatnya di jalan atau ditemui, sekalipun orangnya sama sekali tidak dikenal dengan kata-kata kasar dan kotor. Yang terakhir ini adalah tipe kebanyakan remaja atau ABG. Bahkan ada juga yang rutin sekali nyatus (nyatat status) hal-hal remeh temeh, seperti; ‘’hoaaaaffff ngantuk’’, ‘’lapeeeerr’’, ‘’capek banget’’, ‘’makan dulu’’, ‘’saatnya solat’’, dll.

Status di facebook mungkin bisa disebut digital diary. Berbeda dengan diary berformat buku yang lebih bersifat pribadi, status tersebut lebih terbuka untuk umum. Siapa pun bisa berbagi apa pun dan boleh dikomentari apa saja. Itulah mengapa saya katakan status merupakan komponen yang paling ‘menarik’ di facebook.

Seberapa pentingkah status fb? Bagi saya sendiri, saya boleh mengakui diri sendiri kalau saya termasuk orang yang perhitungan untuk nyatus, mengomentari status orang, atau me-like-nya. Saya tahu apa yang saya harus atau mau bagi dan saya juga tahu apa yang sebaiknya saya simpan sendiri dan orang lain tidak perlu tahu. Kalau saya nyatus seringnya berupa kutipan dari orang-orang yang saya kagumi. Selebihnya saya biasa mengucap syukur, berterima kasih, mengabarkan info kegiatan saya, dan memberi sedikit penilaian terhadap film atau buku yang baru saya tonton atau baca. Dan orang-orang yang ‘berstatus’ demikian jugalah yang biasa saya komentari atau like. Saya juga biasa kok nyatus tentang apa yang sedang saya lakukan, entah itu sendirian, bersama teman-teman, atau keluarga. Namun tetap pilih-pilih.

Bagi saya, ambil sisi postifnya saja deh, status facebook adalah media untuk berpendapat, berbagi sedikit kabar atau cerita, dan mengungkapkan perasaan (yang saya kira-kira perlu untuk saya bagi). Nah pembaca, seberapa pentingkah status facebook bagi kalian?

Aku Terlahir Maka Aku Penting

Saya tidak sepakat dengan orang lain yang mengatakan, “I’m just ordinary person, nothing special in me”. Bagi saya, saya bukan manusia ‘biasa’, dan memang sepatutnya saya dilahirkan untuk bukan menjadi manusia ‘biasa’. Tidak ada manusia yang merupakan manusia ‘biasa’, sekali lagi bagi saya. Setiap manusia dicipta dan dilahirkan dengan mukjizatnya (dan tujuan hidup) masing-masing. Kalau memang saya manusia biasa dan manusia-manusia lain pun juga biasa, untuk apa saya dan mereka diciptakan? Sama-sama biasa kok. Apa sih pentingnya?

Manusia yang biasa-biasa saja memang ada, mungkin banyak. Biasa dan biasa-biasa toh beda makna. Saya kira saya tidak perlu menjelaskan makna keduanya, silakan dipikirkan sendiri!

AKU TERLAHIR MAKA AKU PENTING. Ini sama sekali tidak ada hubungan dengan arogansi, sebab ini adalah prinsip yang saya yakini setelah mikir-mikir untuk apa sih tujuan manusia dicipta. Dan bagi saya, kalau bicara prinsip, maka sudah tidak mengenal arogansi. Prinsip dan arogansi merupakan dua hal yang sangat jauh berbeda, tidak berhubungan, dan tidak akan pernah bisa dihubung-hubungkan. Seorang yang berprinsip misalnya, “Saya tidak mau jadi PNS dan kerja di bawah telunjuk orang lain”. Selama itu prinsip nya dia, ya tidak apa-apa. Orang lain tidak berhak turut campur.

Kembali menyoal judul dan topik. Memang, mungkin tidak selamanya saya penting bagi orang lain atau kehidupan mereka, namun setidaknya penting bagi saya sendiri, mimpi-mimpi saya, dan tujuan saya dicipta dan dilahirkan. Yang jelas setahu saya, I’m not ordinary person. I was born for reason. But, what’s that the reason? I’m still searching.

AKU TERLAHIR MAKA AKU PENTING!

Seperti Para Bocah Ingusan yang Mengejar Layang-Layang

Beberapa hari yang lalu, sepulang dari supermarket membeli perlengkapan mandi pribadi dengan bersepeda, saya melihat gerombolan bocah ingusan yang tengah menikmati bermain layangan di halaman sebuah masjid megah di Makassar. Mereka berteriak-teriak, tertawa-tawa, dan begitu antusias menengadah mengamati layangan mereka yang tak henti ditarik ulur di ketinggian langit. Saya berhenti sebentar menikmati pemandangan ini.

Tidak lama kemudian, muncul sebuah layang-layang berwarna merah polos melenggak-lenggok di titik lain dari langit yang saat itu nyaris bersih tanpa awan. Makin lama lenggokannya makin ngawur dan semakin besar kelihatan. “Layang-layang kepa!!!’” seru salah seorang bocah berbaju kuning kebesaran. Kepa’ adalah istilah orang Makassar menyebut layang-layang yang benangnya terputus dan sebentar lagi jatuh ke tanah. Mungkin layangan itu milik seorang entah siapa di suatu tempat entah di mana. Para bocah ingusan tidak peduli, mereka berlarian kencang bahkan sampai ke jalan raya dengan nafsu menggebu mendapatkan layangan tersebut.

Melihat mereka menghambur ke keramaian jalan raya di siang bolong itu, saya pun khawatir sekaligus iri tapi akhirnya tersenyum kecil. Entah apa yang terjadi dengan koneksi impuls-impuls saraf di otak saya sehingga tiba-tiba berpikir saya ingin sekali seperti para bocah ingusan itu. Mereka tidak takut akan segala resiko, sekalipun menyangkut keselamatan fisik mereka demi mengejar sebuah impian yang menurut sebagian orang besar (baca: dewasa) adalah tindakan bodoh karena membahayakan diri sendiri: mengejar layang-layang. Saya yang hanya mengamati dari jauh, yakin di jalan raya itu pasti sudah banyak orang, baik yang sedang berjalan di trotoar, bersantap siang di warung-warung, atau yang sedang berkendara melarang dan memarahi mereka. Tapi anak-anak itu justru sangat bersemangat dan penuh gairah mengejar layangan impian mereka, tidak peduli apa kata orang dan sebesar apa resikonya. Ah, saya iri!

Semasa kecil, tentu kita pernah bermimpi banyak hal, macam-macam, mengawang-awang, bahkan sering tidak masuk akal. Sewaktu masih pra sekolah, saya pernah bermimpi bisa berubah jadi power ranger, bisa menghilang dan terbang mengendarai robot berbentuk hewan dengan senjata-senjata canggih untuk menumpas segala kejahatan dan ketidakadilan di muka bumi. Saya juga sempat bercita-cita ingin jadi astronot setelah mendengar cerita orang tentang Neil Armstrong yang berhasil mendarat ke bulan. Di imajinasi saya saat itu setelah melihat foto Armstrong yang berdiri di samping bendera Amerika, jadi astronot sungguh mengasyikkan karena bisa melihat bintang, komet, asteroid, barisan planet-planet, dan hamparan benda-benda langit lainnya jauh lebih dekat dan lebih jelas di luar angkasa yang gulita.

Saya tidak ingin melihat dari sudut pandang yang menilai mimpi-mimpi anak-anak itu suka macam-macam, mengawang-awang, dan sering tidak masuk akal. Saya ingin mengambil sisi positifnya saja bahwa anak-anak kalau bermimpi selalu penuh semangat, percaya diri, tidak peduli bacot orang lain, dan berani terhadap segala resiko, sebesar apa pun, seperti yang dilakukan para bocah ingusan yang mengejar layang-layang itu.

*Saya ingin seperti anak-anak yang tidak pernah takut bermimpi, tapi saya juga ingin dewasa dalam mengambil keputusan dan pilihan hidup*
Surat Untuk Setan

Dear setan…

Tan, saya minta maaf atas ketololan saya selama ini. Ketololan karena kerap menyalahkan dan mengkambinghitamkanmu atas segala kebodohan, kesalahan, dan dosa yang saya perbuat. Ternyata selama ini saya pengecut, Tan.

Sekarang saya sadar kalau segala hal yang telah dan tengah terjadi, semua atas kehendak dan kuasa saya atas diri sendiri. Tidak ada hubungannya dengan dirimu. Kamu tidak patut dipersalahkan. Malah saya ingin berterima kasih karena darimu saya tahu mana yang baik dan mana yang buruk. Dirimu hanya mempersuasi. Dan yang menentukan untuk memilih, sekali lagi saya akui, ya diri saya sendiri. Maafin saya ya, Tan! Maafin juga orang tua, kakak, adik, teman, sahabat, guru, tetangga, dan semua orang yang saya kenal bahkan tidak kenal atas kepengecutan kami selama ini karena tidak berani mengakui kesalahan.

Kami tidak mau berjanji tidak akan melakukan kesalahan lagi. Karena itu mustahil, Tan! Tapi kami berjanji, tidak akan lagi menyalahkanmu jika kami berbuat salah dan dosa. Makanya maafin ya, Tan!

Jabat erat…..dan plis ikatkan kelingkingmu di kelingkingku
Terima kasih ya, Tan, mau maafin kami!


*surat ini saya tulis setelah mendengar dan menyimak Curhat Setan yang dinyanyikan oleh BFDF (band indie asal Bandung) dan ditulis oleh Fahd Djibran*

Minggu, 25 Oktober 2009

Euthanasia: menurut pakar, kematian sepupu, dan menurut konteks 'Orang Sukaria'


Saat menulis note ini, saya baru selesai baca artikel tentang euthanasia dari majalah langganan kakak, Dokter Kita. Euthanasia berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani. Eu yang berarti baik atau bagus dan thanatos/thanasia yang berarti kematian. Dengan demikian, euthanasia berarti kematian yang wajar, normal, atau baik.

Euthanasia sendiri terbagi lagi jadi dua bentuk, aktif dan pasif. Euthanasia aktif yaitu suatu tindakan kesengajaan menghentikan penunjang hidup seseorang. Dengan kata lain, dia itu masih hidup namun proteksi terhadap dirinya sengaja dikurangi atau bahkan ditiadakan lagi. Misalnya, tidak lagi diberi antibiotik. Jadi kalau terkena infeksi, ya dibiarkan saja.

Contoh lain, bunuh diri seperti yang terjadi di luar negeri. Si pasien disambungkan ke komputer dan di-tenang-kan (diberi obat penenang). Jika dia tetap menekan tombol meminta kematian, maka dokter akan memasukkan cairan zat mematikan. Tapi zat itu sendiri baru bisa masuk ke tubuh si pasien jika dia sendiri yang menekan tombolnya.

Sedangkan kondisi euthanasia pasif adalah di mana seorang pasien yang masih hidup tergantung pada alat penunjang kehidupan yang jika alat tersebut dicabut atau dihentikan, maka dia akan mati. Namun menurut ahli forensik RS Cipto Mangunkusumo DR Dr Herkutanto, SH, SpF(K) seperti dikutip dari majalah yang model sampul depannya pasti selalu dokter-dokter Jakarta yang good looking tentunya, "Orang yang sebenarnya sudah mati, tetapi di ICU masih ditunjang seolah-olah hidup. Bila dicabut mesinnya dan mati, lalu disebut euthanasia. Itu bukan. Euthanasia adalah, orang yang masih hidup kemudian tidak diperpanjang lagi kehidupannya".

Sebagian kalangan menilai, euthanasia tak ubahnya tindakan pembunuhan. Namun sebagian lainnya menganggap, euthanasia boleh saja dilaksanakan demi membantu si pasien terlepas dari jeratan penderitaannya. Tentu saja bukan tanpa tedeng aling-aling. Banyak proses; negosiasi, pertimbangan (dari sisi agama, moral, hukum, dll), persetujuan pasien, keluarga pasien, pihak rumah sakit, surat-surat permohonan lengkap dari pengadilan, dan harus diputuskan oleh tim Majelis Hakim.

Menurut Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat H Cicut Sutiarso, SH, MHum siapa saja boleh mengajukan permohonan euthanasia, tapi keputusan dikabulkan atau tidak tergantung tim Majelis Hakim. Sedangkan menurut MUI, apa pun alasannya, euthanasia tetaplah haram hukumnya. "Dasar pelarangan euthanasia, memang tidak terdapat secara spesifik dalam Al-Quran maupun sunnah Nabi. Tapi tindakan membunuh orang karena faktor keputusasaan, tidak diperbolehkan dalam Islam" begitu penuturan Prof DR Hj Khuzaemah T Yanggo, Ketua MUI bidang Pengkajian dan Pengembangan.

Di Indonesia sendiri, belum/tidak ada aturan hukum yang memperbolehkan tindakan euthanasia. Namun kontroversi tersebut bukan hanya terjadi di negara kita. Di beberapa negara, pro kontra nya juga ramai. Makanya belum banyak juga negara lain yang melegalkan tindakan euthanasia.

Kematian sepupu, euthanasiakah?

Menjelang bulan ramadhan dua tahun lalu (2007), seorang sepupu yang sebaya dengan saya meninggal dunia setelah dirawat beberapa hari di ruang ICU RS Wahidin Sudirohusodo, Makassar. Dia sekaligus teman main, teman bersepeda, teman menyewa CD2 bajakan lalu nonton bareng, teman memetik cokelat atau lobe-lobe dari kebun orang lain di perumahan elit, dan juga teman berantem saya waktu masih ingusan sekali. Saya ada bersama sanak keluarga lain termasuk ibunya yang tak lain tante saya di hari berkabung itu. Hari tersebut juga merupakan pengalaman pertama saya menyaksikan langsung seseorang yang sakaratul maut sampai meningga dunia.

Saya tidak tahu pasti sakitnya apa. Yang saya tahu dia kecelakaan motor parah sampai saluran kencingnya disambung selang dan sudah dirawat tiga bulan (atau enam bulan ya?) sewaktu saya sudah pindah sekolah dari Jawa ke Makassar. Dia sempat pulang ke rumahnya. Waktu check up lagi ke rumah sakit yang sama, dia juga sudah jauh lebih baik. Malah datang ke sananya cuma berdua dengan seorang temannya. Tapi beberapa hari setelah itu, dia tiba-tiba sakit lagi. Semakin hari semakin parah sampai akhirnya kamar ICU yang tadi disebutkan adalah tempat peristirahatan terakhirnya di bumi sebelum masuk kubur.

Yang membuat saya bertanya-tanya bahkan sampai sekarang, kenapa dokter mencabut semua alat penunjang hidupnya waktu itu sambil berkata, "Sudah ya, Bu! Adik sudah tidak ada lagi"? Padahal saya menyaksikan sendiri grafik irama jantungnya belum lurus betul, begitu juga dengan nafasnya di ventilator. Belum nol, meskipun memang rendah dan kadang perubahan angkanya 'kaget-kagetan'.

Saya pun kemudian menanyakannya kepada kakak saya yang waktu itu masih co-assistant dokter. Katanya setelah dahinya berkerut sebentar,"Pasti dokter punya pertimbangan lain!". Dia memang tidak hadir hari itu, jadi dia tidak menyaksikan langsung bagaimana statistik alat-alat tersebut. Tapi, saya belum puas sampai detik ini,meskipun sudah mengikhlaskan kepergiannya! Pertimbangan apa? Karena memang sudah tidak ada harapan hidup lagikah? Karena memang sebenarnya sepupu saya itu sudah mati beberapa jam yang lalu dan hanya ditunjang berbagai alat artifisial untuk tetap hidup? Atau karena tidak tega melihat histeria keluarga saya? Atau justru tidak tahan?

Jika memang kasus sepupu saya ini adalah euthanasia, merujuk pada penjelasan Dr Herkutanto tadi, maka saya akan menyebut sepupu saya itu 'korban' euthanasia pasif. Kenapa korban? Karena belum adanya persetujuan dari pihak keluarga apalagi surat-surat permohonan sesuai prosedur pengadilan hingga keputusan tim Majelis Hakim. Tapi keluarga saya juga kayaknya malas berhubungan dengan segala tetek bengek birokrasi yang sering tidak jelas juntrungnya. Begitu pun dengan tim dokter yang menangani. Makanya lebih baik 'dimatikan' saja.

Saya tidak pernah tahu apakah sepupu saya itu memang sudah mau mati atau masih ingin hidup. Seandainya dia masih punya kekuatan untuk bicara waktu itu. Tapi banyak keluarga yang bilang bahwa yang sudah terjadi itulah yang terbaik. Saya meyakini dan menyetujui itu. Saya juga sudah sangat malas berandai-andai. Kata 'seandainya' sudah lama saya hapus dari kamus saya.

Mati Bagus, istilah "Orang Sukaria"

Orang Sukaria adalah istilah keluarga kami untuk menyebut sanak keluarga yang lain dan para tetangganya yang tinggal di sepanjang Jalan Sukaria 11, Makassar. Kehidupan bertetangga di wilayah itu sangatlah akrab dan memang sangat sukaria. Pagi hingga malam, anak-anak kecil tak hentinya berhamburan di sepanjang jalan untuk bermain-main. Anak-anak mudanya juga selalu ramai nongkrong di sana-sini. Pun dengan para orang dewasanya. Mereka selalu berkumpul, rumpi, bersenda gurau, dan tak jarang 'makan keroyokan'. Ramai dan seru. Apa pun makanannya.

Di hari lebaran lalu, saya dan keluarga mengunjungi sanak saudara di sana. Setelah kenyang keliling makan dari pintu ke pintu, kami semua duduk-duduk di balla-balla kayu di bawah rumah tante saya. Tempatnya sederhana namun anginnya sepoi-sepoi. Pas untuk berteduh dari siang itu yang puaaanasss.

Di tengah canda gurau, saya tertarik mendengar istilah 'mati bagus'. Asing bagi saya namun keluarga yang tinggal di sana nampak sudah akrab dengan istilah ini. Saya pun bertanya, "Apa itu? Kok mati bagus?". Dan jawabannya sangat menggelikan.

Mati bagus itu adalah istilah untuk menyebut kematian seseorang yang terjadi tanpa ada penyebab apa-apa, seperti sakit, kecelakaan, jatuh,dll. Misalnya, seperti yang pernah terjadi dengan seorang tetangga mereka yang tiba-tiba saja meninggal sewaktu sujud saat sholat idul fitri padahal sebelumnya tidak sakit dan tidak punya penyakit apa-apa. Matinya memang bagus ya?

Apa mati bagus orang Sukaria ini adalah bentuk manifestasi lain dari pengertian euthanasia?

Sabtu, 24 Oktober 2009


Berdoa untuk Apa Sih (sebenarnya)?


Saya tidak sekuler, ekstrem, atau apalah. Saya cuma mau bertanya karena saya setuju dengan Fahd Djibran kalau bertanya tidak pernah berdosa.

Sejak tarik-tarik ingus kita selalu diajarkan untuk berdoa. Dan doa paling umum yang selalu didengar atau diucapkan sendiri adalah,"Ya Tuhan, tunjukkanlah saya jalan yang lurus". Tapi kok, kita selalu dipertemukan dan menemukan jalan yang belok-belok atau berliku ya? Apa memang sebenarnya jalan hidup setiap manusia tidak selamanya lurus? Atau sebenarnya lurus cuma selalu ada kerikil, lubang, becek, lumpur, dan lainnya di tengah jalan? Sebenarnya, apa sih maksud 'jalan yg lurus' itu?

Apa kita hanya perlu berdoa, "Ya Tuhan berikanlah saya yang jalan terbaik". Tapi, bukannya tanpa meminta pun Tuhan pasti kasih yang terbaik? Bukankah yang kita dapat dan alami pasti adalah yang terbaik bagi kita? Sekalipun (dengan alasan,"manusiawi kok'') kita terkadang ada rasa kecewa, tidak puas, atau berat menerima yang 'pasti terbaik' itu.

Pertanyaan kedua, kenapa sih kita harus berdoa? Untuk apa sebenarnya? Sewaktu nyantri di Gontor, saya selalu mendengar asatidz, kakak-kakak kelas, dan teman-teman selalu bilang, "Usaha tanpa doa sama dengan sombong". Jadi, kita berdoa karena kita tidak mau (dibilang) sombong sama Tuhan? Bukankah Tuhan tidak perlu pembuktian apa-apa dari kita? Toh Tuhan tidak bertambah mulia atau berkurang kemuliannya karena apa yang manusia lakukan kan? Semua ya kembalinya ke manusia itu sendiri.

Jujur, memang sering ada kelegaan atau kepuasan tersendiri setiap saya selesai berdoa, meskipun belum tentu juga sih cepat lamanya doa itu terkabul, atau Tuhan mengabulkannya dengan cara dan bentuk lain mungkin? Kitanya aja mungkin yang tidak sadar akan ke-Maha Baikan-Nya. Tapi saya tidak mau cuma merasa lega. Saya juga mau tahu.....berdoa untuk apa sih (sebenarnya)?

Terima kasih!

Gambar diunduh dar sini