Ramadhan, Si Pengantar Paket
Saya selalu membayangkan bulan ramadhan seperti seorang pengantar paket yang sering datang tanpa punya shift khusus selama sebulan dalam setahun. Ia datang dengan dua cara, diundang atau pun tanpa tedeng aling-aling tiba-tiba mengetuk pintu kamar saya -yang merupakan permisalan dari pintu hati karena keduanya sama-sama memuat konten privasi- dengan paket-paket yang dibawanya. Isi paket yang dibawa bermacam-macam, bisa berbentuk pesan moral, pesan spiritual, atau ia juga terkadang membawa seperangkat bahan untuk diingat dan direnungkan.
Siapa pun Anda yang pernah duduk di bangku sekolah dasar, mungkin sekali masih ingat dengan buku amaliyah ramadhan. Sebuah buku yang terlambat untuk saya sadari betul sebagai buku yang sungguh merepotkan dan menyebalkan. Betapa tidak, setiap hari saya harus menguber-uber seseorang yang disebut-sebut sebagai ulama atau dai atau ustadz atau penceramah hanya untuk meminta tanda tangannya. Tapi saya tidak sebodoh itu. Saya memanipulasi tanda tangan mereka dengan alasan simpel; malas. Saya hanya tidak mengerti kenapa anak kecil seperti saya waktu itu disuruh mengejar-ngejar tanda-tangan orang-orang yang sama sekali bukan idola saya, orang-orang yang tidak saya kenal, yang tidak memberi kontribusi apa-apa dalam hidup saya, bahkan tidak menambah pahala puasa saya. Ya memang, karena kepentingan saya dengan orang-orang itu hanya sampai di urusan tanda tangan.
Keresahan saya tidak berhenti sampai di situ rupanya. Selanjutnya saya bertanya-tanya kenapa ibadah seseorang harus dibuktikan lewat daftar kegiatan selama sebulan penuh dari bangun tidur sampai bangun lagi dalam buku amaliyah tersebut. Kenapa orang-orang suka sekali menghitung ibadah orang lain, kenapa tidak mengurusi ibadahnya sendiri. Bagi saya ibadah-ibadah yang eksistensial seperti sholat, mengaji, bersedekah, dan sebagainya adalah urusan masing-masing dengan Tuhan. Orang-orang di jajaran birokrasi sekolah itu terlalu sibuk mengurusi hal-hal yang di permukaan, sehingga lupa (atau buta?) bahwa yang penting sebenarnya adalah esensi dari beribadahnya seseorang. Dan esensi itu tidak bisa dihitung atau diukur.
Terkesan idealis? Mungkin. Tapi rupanya dalam prakteknya saya pragmatis. Tunggu, apa jangan-jangan pragmatisme itu merupakan idealisme juga? Entahlah, yang jelas saya manut mengisi buku amaliyah tersebut sampai penuh, sekali lagi meskipun banyakan bohongnya. Saya memilih sikap seperti ini bukan tanpa alasan. Saya malas berurusan lagi nanti dengan guru agama saya, berdebat dengan dia, berargumentasi panjang lebar tentang pandangan saya. Saya yakin hanya akan tampak seperti kekonyolan debat kusir yang tidak mengubah dan menghasilkan apa pun, selain makin 'hati-hati'nya guru saya terhadap saya. Saya tahu guru-guru agama saya soalnya.
Seseorang pernah berkata kepada saya secara pribadi bahwa tidak apa-apa kita ikut di suatu arus, yang penting kita sadar seperti apa arusnya. Karena waktu itu saya masih ABG, saya tidak ngerti-ngerti amat apa maksudnya. Baru sekarang saya mulai paham bahwa kesadaran itu memang penting, kapan pun dan di mana pun, serta apa pun yang kita lakukan. Sadar beda dengan tahu. Kita tahu apa yang kita lakukan, tapi kita tidak sadar. Seperti itulah maksudnya, mungkin. Dan untuk kasus buku amaliyah, saya sadar bahwa itu bukan murni kekonyolan guru agama saya. Saya sadar bahwa ada suatu sistem yang tidak berwajah tapi jahatnya seperti monster-monster Power Ranger yang membentuk beliau. Sistem itu bernama kurikulum pendidikan. Sistem tersebut ditambah dengan dogma-dogma agama versi guru agama saya lah yang melahirkan suatu produk yang tidak lucu tapi bikin ketawa bernama buku amaliyah ramadhan. Sayangnya, guru agama saya mungkin tidak menyadari itu.
Apa yang sudah saya bahas di atas hanyalah salah satu dari konten paket yang dibawa ramadhan untuk saya ingat dan renungkan. Masih banyak sebenanarnya paket lain yang menarik untuk diolah-pikir. Apa pun itu, saya ingin bilang bahwa ramadhan memang persis kayak tukang antar paket (delivery service) yang bisa datang karena diundang, atau bisa juga secara tiba-tiba. Mengagetkan namun seketika memesona dengan sensasinya. Ya, bulan ini memang penuh pesona dan sensasional.
Selamat menunaikan ibadah puasa.
Yogyakarta, 3 Agustus 2011.
Siapa pun Anda yang pernah duduk di bangku sekolah dasar, mungkin sekali masih ingat dengan buku amaliyah ramadhan. Sebuah buku yang terlambat untuk saya sadari betul sebagai buku yang sungguh merepotkan dan menyebalkan. Betapa tidak, setiap hari saya harus menguber-uber seseorang yang disebut-sebut sebagai ulama atau dai atau ustadz atau penceramah hanya untuk meminta tanda tangannya. Tapi saya tidak sebodoh itu. Saya memanipulasi tanda tangan mereka dengan alasan simpel; malas. Saya hanya tidak mengerti kenapa anak kecil seperti saya waktu itu disuruh mengejar-ngejar tanda-tangan orang-orang yang sama sekali bukan idola saya, orang-orang yang tidak saya kenal, yang tidak memberi kontribusi apa-apa dalam hidup saya, bahkan tidak menambah pahala puasa saya. Ya memang, karena kepentingan saya dengan orang-orang itu hanya sampai di urusan tanda tangan.
Keresahan saya tidak berhenti sampai di situ rupanya. Selanjutnya saya bertanya-tanya kenapa ibadah seseorang harus dibuktikan lewat daftar kegiatan selama sebulan penuh dari bangun tidur sampai bangun lagi dalam buku amaliyah tersebut. Kenapa orang-orang suka sekali menghitung ibadah orang lain, kenapa tidak mengurusi ibadahnya sendiri. Bagi saya ibadah-ibadah yang eksistensial seperti sholat, mengaji, bersedekah, dan sebagainya adalah urusan masing-masing dengan Tuhan. Orang-orang di jajaran birokrasi sekolah itu terlalu sibuk mengurusi hal-hal yang di permukaan, sehingga lupa (atau buta?) bahwa yang penting sebenarnya adalah esensi dari beribadahnya seseorang. Dan esensi itu tidak bisa dihitung atau diukur.
Terkesan idealis? Mungkin. Tapi rupanya dalam prakteknya saya pragmatis. Tunggu, apa jangan-jangan pragmatisme itu merupakan idealisme juga? Entahlah, yang jelas saya manut mengisi buku amaliyah tersebut sampai penuh, sekali lagi meskipun banyakan bohongnya. Saya memilih sikap seperti ini bukan tanpa alasan. Saya malas berurusan lagi nanti dengan guru agama saya, berdebat dengan dia, berargumentasi panjang lebar tentang pandangan saya. Saya yakin hanya akan tampak seperti kekonyolan debat kusir yang tidak mengubah dan menghasilkan apa pun, selain makin 'hati-hati'nya guru saya terhadap saya. Saya tahu guru-guru agama saya soalnya.
Seseorang pernah berkata kepada saya secara pribadi bahwa tidak apa-apa kita ikut di suatu arus, yang penting kita sadar seperti apa arusnya. Karena waktu itu saya masih ABG, saya tidak ngerti-ngerti amat apa maksudnya. Baru sekarang saya mulai paham bahwa kesadaran itu memang penting, kapan pun dan di mana pun, serta apa pun yang kita lakukan. Sadar beda dengan tahu. Kita tahu apa yang kita lakukan, tapi kita tidak sadar. Seperti itulah maksudnya, mungkin. Dan untuk kasus buku amaliyah, saya sadar bahwa itu bukan murni kekonyolan guru agama saya. Saya sadar bahwa ada suatu sistem yang tidak berwajah tapi jahatnya seperti monster-monster Power Ranger yang membentuk beliau. Sistem itu bernama kurikulum pendidikan. Sistem tersebut ditambah dengan dogma-dogma agama versi guru agama saya lah yang melahirkan suatu produk yang tidak lucu tapi bikin ketawa bernama buku amaliyah ramadhan. Sayangnya, guru agama saya mungkin tidak menyadari itu.
Apa yang sudah saya bahas di atas hanyalah salah satu dari konten paket yang dibawa ramadhan untuk saya ingat dan renungkan. Masih banyak sebenanarnya paket lain yang menarik untuk diolah-pikir. Apa pun itu, saya ingin bilang bahwa ramadhan memang persis kayak tukang antar paket (delivery service) yang bisa datang karena diundang, atau bisa juga secara tiba-tiba. Mengagetkan namun seketika memesona dengan sensasinya. Ya, bulan ini memang penuh pesona dan sensasional.
Selamat menunaikan ibadah puasa.
Yogyakarta, 3 Agustus 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ruang Tamu