Membaca novel ini seperti membaca riwayat hidup sebuah keluarga priyayi. Menariknya, riwayat tersebut seakan ditulis dan diceritakan sendiri oleh para anggota keluarga. Jadi, sudut pandangnya berubah-ubah meskipun tetap dengan kata ganti 'saya', sesuai dengan tokoh siapa yang sedang bercerita di setiap bab. Inilah yang khas dari gaya bercerita penulis.
Dengan gaya bercerita yang seperti itu, ada keunggulan tersendiri yang saya rasakan. Keunggulan tersebut berupa pelibatan perasaan yang terasa lebih nyata dan dekat antara tokoh-tokoh yang bercerita dengan pembaca. Belum lagi, bahasanya yang komunikatif layaknya orang mengobrol membuat pembaca ingin terus mendengarkan ceritanya sampai selesai.
Novel setebal 300-an halaman ini seperti sebentuk dokumentasi tertulis yang terhimpun dari catatan masing-masing tokoh atau anggota keluarga dalam cerita yang ceritanya berkesinambungan satu sama lain. Umar Kayam lah pengumpul dan penyusun kumpulan cerita tersebut. Kira-kira seperti itulah kesannya. Akan tetapi, novel ini tetaplah sebuah karya fiksi yang murni dari sang penulis. Bangunan cerita, penokohan, logika alurnya, dan semuanya adalah hasil ciptaan beliau berdasarkan imajinasi dan mungkin juga -atau tentu saja?- pengalaman.
Kisah keluarga priyayi yang diceritakan penulis dalam novel ini sungguh hidup. Apa yang saya maksud dengan hidup di sini adalah seperti ini: selain tokoh-tokohnya sendiri yang bercerita bergantian-gantian di setiap babnya, pembaca juga diajak mengikuti bagaimana tokoh-tokoh itu dari kecil tumbuh remaja, dewasa, dan akhirnya tua serta bagaimana kehidupan mereka banyak berubah seiring perubahan zaman.
Ada tiga potret zaman yang menjadi alur cerita, masa penjajahan Belanda, pendudukan Jepang, dan masa revolusi serta pergerakan yang sumbunya sedang menyala-nyala sekitar tahun 1965. Meskipun alurnya ini bolak-balik, tapi konstruksinya tetap logis dan tidak njlimet sama sekali. Penulis sangat cakap membawa pembaca mengikuti alur tersebut dan menjadikannya sebagai saksi atas riwayat kehidupan keluarga besar Soedarsono, pendiri trah keluarga priyayi Sastrodarsono, hingga tokoh tersebut wafat. Selain itu, penulis juga terampil meramu sisi humor, haru, dan menegangkan menjadi satu komposisi yang pas.
Apa dan Siapa Priyayi Itu?Sjafri Sairin dalam tulisannya berjudul Javanese Trah (Kin-Based Social Organization) mengutip Sosrodiharjo dan Sutherland yang mengatakan bahwa secara etimologis, kata 'priyayi' berasal dari kata para yang berarti jamak atau banyak (plural) dan yayi yang bemakna saudara muda atau adiknya raja (younger brother of the king).
Selanjutnya, Pak Syafri -begitu kami para mahasiswanya memanggil beliau- menjelaskan bahwa fungsi dari kelompok priyayi ini adalah secara tradisional membawa perintah yang datang kepada mereka melalui sentono dalem. Saya tidak tahu apa padanan yang tepat dari sentono dalem dalam Bahasa Indonesia. Teman-teman saya yang orang Jawa juga tidak tahu, ada bahkan yang mengatakan bahwa tidak ada padanannya. Apakah ini indikator bahasa daerah lebih kaya dari Bahasa Indonesia? Yang jelas, anggota dari kelompok sentono dalem ini adalah keturunan asli dari keempat pemimpin kerajaan di Jawa bagian tengah (Central Java), yakni Sultan Yogyakarta, Paku Alaman, Susuhunan, dan Mangkunegaran. Ya, keluarga priyayi yang diceritakan memang keluarga priyayi Jawa dan nuansa Jawa nya juga sungguh terasa. Lantas siapakah para priyayi itu?
Berdasarkan uraian Pak Syafri, pada masa kolonial para priyayi ini sebenarnya berasal dari kalangan orang biasa yang diangkat dan kemudian akhirnya dianggap sebagai keturunan langsung (direct family) dari raja karena mempunyai suatu kemampuan yang tidak dimiliki orang kalangan biasa lainnya. Mereka biasanya mendapatkan posisi administratif di istana, gelar kehormatan karena menjadi bagian dari kerajaan, dan hak untuk layanan-layanan pribadi dari penguasa. Kemudian, konsepsi priyayi meluas ke mereka yang juga bergelar guru dan kaum intelektual lainnya.
Apa yang dijelaskan oleh Pak Syafri ini dapat dijumpai contoh-contohnya dalam novel.
Soedarsono, seorang anak dari keluarga petani kecil Desa Kedungsimo menjadi priyayi setelah ia berhasil mencapai posisi sebagai guru bantu. (Mengenai latar Desa Kedungsimo ini, tidak jelas apakah di Jawa Tengah atau di Jawa Timur). Meskipun bukan anak priyayi dan sama sekali tidak punya leluhur priyayi, Soedarsono berhasil menjadi priyayi berkat kegigihannya dan kesungguhan orang tuanya dalam menyekolahkan.
Memang ada beberapa cara untuk bisa mencapai status priyayi; karena faktor keturunan, karena pemberian atas suatu dedikasi, dan karena mencari sendiri. Soedarsono mencapainya karena mencari sendiri, meskipun ia juga dibantu oleh majikan orang tuanya (Ndoro Seten) untuk dicarikan jalan agar dapat diterima sebagai guru bantu. Tapi itu pun masih priyayi yang paling rendah tingkatannya. Untuk menjadi priyayi yang terpandang, ia harus mencapai jabatan sebagai mantri guru. Sejujurnya, saya juga tidak terlalu paham dengan konsep 'mantri guru' ini, apakah beda dengan guru bantu atau guru penuh?
Priyayi tingkat rendah, priyayi terpandang, inilah yang menjadi salah satu corak khas kebudayaan Jawa. Orang Jawa identik dengan hierarki. Contoh lain, adalah dikenalnya Bahasa Jawa krama (diucapkan dengan kromo yang berarti 'halus') dan Bahasa Jawa ngoko (kasar). Yang pertama dipakai saat berbicara dengan orang yang lebih tua atau yang lebih dihormati, sedangkan yang kedua dipakai untuk percakapan dengan orang atau teman yang sudah akrab. Sementara itu, tokoh-tokoh masyarakat yang dihormati boleh menggunakan Bahasa Jawa krama atau ngoko kepada bawahannya atau orang biasa. Inilah contoh detail yang teliti diperhatikan oleh penulis dalam ceritanya.
Berbagai detail lain yang digambarkan dengan hati-hati tapi tidak terkesan memaksa adalah mengenai perbedaan-perbedaan yang melingkupi kehidupan priyayi dan wong cilik (orang kecil/biasa). Misalnya, nama priyayi berbeda dengan nama wong cilik. Soedarsono adalah nama priyayi, Ngali atau Ngusman adalah nama wong cilik. Anak priyayi memanggil ibunya dengan 'Ibu' atau 'Bu', anak wong cilik memanggil ibunya dengan embok. Sementara itu, Marie (cucu Soedarsono) memanggil ibunya dengan 'mama' karena besar di Jakarta.
Ciri khas gaya hidup priyayi yang juga digambarkan dengan detail oleh penulis adalah kurang lebih seperti ini: para priyayi suka minum-minum teh di sore hari, punya kursi goyang untuk bersantai, dan terutama suka bermain kesukan serta bertayub. Kesukan adalah bermain ceki (kartu) sambil mengobrol ngalor-ngidul tentang apa saja, sedangkan bertayub adalah berpesta kecil-kecilan dengan penari-penari genit. Pokoknya, tipikal manusia impian wong cilik pada masa itu (masa penjajahan).
Akan tetapi, priyayi tidak luput dari salah dan dosa. Penulis seakan menegaskan bahwa seterpandang apa pun priyayi itu di masyarakat, mereka juga tidak lebih dari manusia biasa, sekalipun bukan 'orang biasa'. Di saat Soedarsono berada di puncak amarah atau cuma kesal karena sesuatu yang sebenarnya sepele, dia juga bisa berkata kasar dan tidak sopan. Selain itu, cucunya Harimurti, kelak ketika dewasa menghamili pacarnya, menantunya Harjono selingkuh dengan rekan kerjanya, dan cucunya Marie juga diperawani pacarnya sebelum terikat pernikahan yang sah secara agama ataupun negara.
Priyayi, Gengsi SosialJika diperhatikan, dalam novel ini penulis secara tidak langsung mengungkapkan bahwa ada perubahan konsepsi mengenai priyayi dari zaman ke zaman. Di zaman kolonial, guru bantu atau yang sekarang mungkin bisa disepadankan dengan guru honorer sudah bisa dikatakan priyayi, meski masih priyayi rendahan. Hal ini karena pada zaman itu, akses untuk mengenyam pendidikan sangat sulit dan butuh perjuangan yang tidak main-main sehingga hanya segelintir yang bisa mengecapnya. Anak yang orang tuanya priyayi, bisa sekolah di sekolah priyayi seperti HIS atau HIK. Sementara untuk wong cilik, butuh perjuangan yang berani untuk bisa sekolah di sekolah desa khusus wong cilik. Orang tuanya harus rela melepas anaknya sekolah dan harus siap banting tulang membiayai sekolahnya. Beruntung jika ada orang dermawan yang mau menyekolahkan.
Bagaimana dengan zaman sekarang di mana sudah banyak sekali spesialisasi pekerjaan yang gengsinya saing-saingan khusunya di kota-kota besar? Menurut saya, jika dilihat dari sudut pandang kekinian, konsep priyayi adalah konsep yang usang. Jarang sekali kita dengar bahwa dokter, dosen, direktur perusahaan, dan berbagai pekerjaan prestisius bagi kalangan umum lainnya disebut priyayi. Malah pengertian kita (saya bilang 'kita' karena teman-teman dan dosen saya juga demikian) secara spontan terasosiasi dengan kaum bangsawan atau keturunan raja. Ini berarti membicarakan konteks masa lampau. Ini juga berarti bahwa priyayi rasa-rasanya bukanlah konsep yang hidup dalam konteks masa kini.
Meskipun demikian, ada satu hal yang tidak pernah berubah sehubungan dengan priyayi ini, yakni gengsi sosialnya. Sejak dahulu hingga sekarang, jika ada yang mengatakan bahwa si A adalah keturunan priyayi, maka secara otomatis ada semacam gengsi sosial yang tersandang pada dirinya. Sadar atau tidak, terima atau tidak.
Mengapa Lantip?Pada bagian akhir novel ini, Sastrodarsono meninggal dunia. Penggambaran suasana haru oleh penulis sangat terasa di sini. Lantip, meskipun sebenarnya hanyalah anak angkat, justru ditunjuk oleh anak-anak dan cucu-cucu Sastrodarsono sebagai juru bicara untuk pidato selamat jalan kepada mendiang Sastrodarsono. Meski awalnya merasa berat dan tidak pantas, ia pun menerimanya dengan mantap.
Sebenarnya pembaca (setidaknya bagi saya sendiri) sudah bisa menebak mengenai penunjukan Lantip ini, karena memang dialah yang pantas dengan segala jasanya bagi keluarga Sastrodarsono. Dialah priyayi sesungguhnya, priyayi tulen kata Hari, anak Hardojo atau cucu Sastrodarsono. Intinya, Lantip mewarisi semangat priyayi dari Sastrodarsono. Akan tetapi, menurut Heddy Shri Ahimsa-Putra dalam bukunya Strukturalisme Levi-Strauss Mitos dan Karya Sastra mengatakan bahwa jawaban seperti ini rasanya terlalu mudah dan untuk itu juga mudah dibantah. Ia pun mencoba menganalisisnya dengan menggunakan pendekatan struktural Levi-Strauss.
Bagi Ahimsa-Putra agak mengherankan bahwa ternyata Lantip lah yang ditunjuk sebagai juru bicara keluarga Sastrodarsono. Ini karena bibit, bebet, dan bobot nya sangatlah bukan priyayi. Lantip adalah anak haram dari seorang gadis desa miskin penjual tempe keliling. Jika yang diperhitungkan adalah 3 B ini ditambah dengan semangat priyayi, maka para priyayi tulen yang mestinya ditunjuk adalah anak-anak Sastrodarsono. Lantas, kenapa harus Lantip? Untuk menjawab pertanyaan ini, berikut beberapa yang bisa saya simpulkan dari analisis Ahimsa-Putra.
Pertama, adanya kesamaan sejarah kehidupan Sastrodarsono dengan Lantip. Keduanya sama-sama anak tunggal, keturunan wong cilik, dan berhasil mencapai status priyayi karena ada bantuan dari pihak lain. Sastrodarsono dibantu oleh Ndoro Seten, majikan orang tuanya, sedangkan Lantip dibantu oleh Sastrodarsono, yakni diangkat sebagai anaknya lalu disekolahkan.
Kedua, baik Sastrodarsono maupun Lantip sama-sama telah mengalami pergantian nama. Soedarsono adalah nama kecil Sastrodarsono, sedangkan nama kecil Lantip adalah Wage. Bedanya, Soedarsono merupakan nama priyayi pemberian Ndoro Seten (meskipun saat itu dia belum masuk dunia priyayi), sementara Wage adalah nama wong cilik pemberian orang tuanya. Soedarsono berganti nama jadi Sastrodarsono ketika ia telah menjadi guru bantu. Wage berganti nama jadi Lantip ketika ia mulai memasuki dunia sekolah. Jadi, keduanya berganti nama ketika mulai memasuki dunia priyayi.
Ketiga, Sastrodarsono dan Lantip memiliki persamaan dalam relasi-relasi keduanya dengan beberapa orang di sekitar mereka. Karena penjelasannya ini panjang dan susah bagi saya untuk meringkasnya, maka saya sarankan bagi yang tertarik silakan dibaca sendiri analisis Ahimsa-Putra dalam bukunya yang judulnya sudah tersebut di atas pada halaman 322-337.
Terlepas dari analisis Ahimsa-Putra di atas, yang menarik bagi saya dalam penutup novel ini adalah pernyataan Lantip yang mengatakan bahwa kata 'priyayi' sudah tidak penting lagi baginya. Yang terpenting adalah dedikasi atau pengabdian kepada keluarga, kerabat dekat, dan masyarakat luas. Inilah yang berkali-kali disebut dalam pidatonya. Inilah yang diresapi Lantip dari kehidupan mendiang Sastrodarsono. Dan menurut saya, rasa-rasanya ini juga merupakan pernyataan tidak langsung dari penulis sendiri, Umar Kayam.
*Gambar dipinjam dari sene neeeeh: http://bit.ly/eMuUVx *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ruang Tamu