Tampilkan postingan dengan label keprosa-prosaan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label keprosa-prosaan. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 09 Februari 2013


Dusk Flight

Up in the air when dusk
I’m sitting by the window
I know I’m going home
Just after these hours

Oh, out there! Look..look!
I exclaim to myself
Oh those skies
So colorful so sight-thiefing

After some freezing seconds
my head whispers the rainbow
On that horizon
Red, yellow, a tiny green, and a gentle purple
With a huge blue covering around
And those huddling clouds beneath

My left index finger picturing a fancy angel,
against the dewy window
Vague and no colors
Just come to imagine tho
Her little star stick could juggle anything
Hut to castle
Ship to boat
Cruel pirate to banana even
Oh, what kind of world I’m figuring out
I know I’m reaching homeland
I just couldn’t look away
From this momentary dusk event
Happening in and out there

Little by little
As the plan keeps moving
The skies turn darker each of the colors
Seems to happen be blended
To only one later, evening black
With dots of spreading young stars
Just like the other night in summer
But this excitement inside remains bright
I know be home almost
I just can’t look aside

This stewardness offers me for drink
I say a cup of tea would be lovely
So she pours out 
While i see this neat man
Sitting next to me
So busy with all his electronic stuff on
As if he’s not on a plane but his office room
Oh, what kind of world he’s living in

The smiling stewardness hands me my tea
A chance to forget the working man
I don’t wanna miss again
that magical event out there
One and half minute is enough

Turning my sight back to the right
Now the change occurs
The more the sun disappears,
the more those colors join together into one
As if the king of universe swallows them all gently
Oh, what kind of perennial world I’m witnessing

All of a sudden my heart deep inside tenderly hums
A prayer and also a greeting

But, now we’re about to land....
Says the announcing woman
I feel I want to stay for more
Living on this plane like forever
But  I know I’m coming home
To somewhere I belong
So i make my promise
To myself and to those skies
Since this revelation comes
That flight at this time
Is apparently the best

Home, I’m so ready.
Here I come!


*ilustrasinya menyusul :p


Sabtu, 19 Mei 2012


Berkah Fajar

Foto ini diambil dari puncak Gunung Ungaran, Jawa Tengah 


Di sini aku sedang duduk
Tubuhku gemetaran karena kedinginan
Namun tak sepenuhnya juga karena itu
Aku merinding lebih dikarenakan mataku menyaksikan 
peristiwa alam yang sedang terjadi
di seberang sana

Lamat-lamat kupandangi
Pelan-pelan senyumku pun mengembang

Tubuhku merinding
namun bibirku tersenyum
Sebuah kombinasi gerak tubuh yang ganjil
Olahraga pagiku yang distimuli konspirasi cuaca

Di seberang sana,
ada barisan gunung,
segumpal awan,
berlatar langit pagi yang masih muda
Biru, bening, dan polos

Kelihatannya jarak antara aku dan mereka 
hanya sepelemparan batu
Namun jarak memang suka menipu
Ketika kucoba kulemparkan sebuah batu kecil, 
rasanya ruang antara kami makin melebar
dan objek-objek alam itu seperti menjauh seribu langkah
Tapi aku tahu, ini hanyalah ilusi
Dan aku pun sadar, jarak tidak pernah menipu, 
ilusilah yang menjebakku

Meskipun mereka tidak bergerak, 
tapi sepertinya mereka berekspresi

Barisan gunung itu,
segumpal awan yang nampak padat tapi sebenarnya rapuh itu,
langit muda, dan semua yang hadir di hadapanku ini
seperti melakukan sebuah adegan
Tanpa sutradara, tanpa skenario
Semuanya serba alamiah,
sederhana, tapi mahal

Mataku memang tidak menjangkau 
apa yang ada di balik yang tampak
Tapi mata batinku iya

Dipeluk kabut yang membawa dingin,
diciumi segumpal awan kecil,
raksasa itu tampak merona dalam ketenangan
Sumringah tapi kalem
Gunung-gunung lain beserta bukit di sekitarnya 
ikut kecipratan sensasi

Sungguh,...
mereka seperti keluarga
yang begitu bahagia dan bersyukur menerima berkah fajar

Kapan lagi ada pagi semagis dan seromantis ini!



Yogyakarta, Mei 2012



Jumat, 11 Mei 2012


Hidup Tidak Peduli

Jika ada sesuatu yang paling tidak pedulian dalam hidup ini, ya hidup itu sendiri. 
Mau senang, susah, bahagia, sakit, kecewa, toh hidup akan terus berjalan, bergerak maju. 
Tak peduli apa pun yang terjadi. 
Tapi kita manusia, satu-satunya makhluk ciptaan Tuhan yang katanya paling mulia dan sempurna dibanding makhluk lainnya. 

Apa pun itu, 
kita memang manusia, 
dianugerahi akal untuk berpikir kemudian berupaya menyiasati hidup yang tak peduli ini. Semuanya tergantung apa siasat kita dan bagaimana cara kita bersiasat. 
Siasat bisa menyelamatkan, 
tapi bisa juga menyesatkan.

Begitulah, 
tapi sekali lagi, mau selamat atau sesat, 
hidup tidak peduli!

Jumat, 24 Desember 2010


Selamat Berhari Baru!
Malam ini dia memilih kesendiriannya. Katanya dia bosan dengan ritual yang itu itu saja setiap malam akhir tahun. Dia ingin yang beda, begitu katanya tadi siang sewaktu teman-temannya mengajak ke pantai dengan bir, kue-kue, lilin, terompet, petasan, dan kembang api. Dia pun menolak ajakan keluarganya keluar kota. Jadilah, dia betul-betul sendirian malam ini.
Tiga menit menjelang pergantian tahun. Sekarang dia sudah duduk di teras rumahnya. Sedari tadi dia menyaksikan langit yang gegap gempita. Heboh dengan ledakan-ledakan membahana. Meriah dengan warna-warni nan semarak. Dia tersenyum, tertawa. Kemudian dia merenung, berefleksi. Dia sungguh menikmatinya. Serasa malam ini miliknya seorang.
Sebenarnya bukan tiba-tiba dia memutuskan bertahun baru hanya dengan dirinya sendiri. Ini rencananya sejak akhir tahun lalu. Dan sekarang lihatlah, apa yang ada di tangannya! Dia membuka buku catatan. Isinya rekaman perjalanan hidupnya selama tahun ini. Sungguh lengkap! Sejak satu januari hingga sejam yang lalu.
Lima..empat..tiga..dua..satu. Tahun pun berganti. Di luar orang-orang riuh rendah dengan sorak dan tepuk tangan. Di pantai teman-temannya bersuka cita dengan bersulang, bersenang senang. Di kota lain, keluarganya hanyut dalam perayaan bersama keluarga besar. Semua gembira, semua ucap syukur, dan semua beresolusi lalu memanjatkan doa. Tapi dia tidak. Yang dilakukannya mengawali tahun baru hanya dengan membuka buku catatan. Lalu dibacanya lembar demi lembar penuh khidmat. Diselaminya arus perjalanan hidupnya setahun kebelakang. Dia tak beresolusi sesuatu pun. Dia hanya ingin khusyuk dalam pembacaannya.
Selama itu, ada yang bergejolak dalam batin dan benaknya. Senang, sedih, amarah, cemburu, jengkel, iba. Satu per satu muncul kembali diiringi senyum, tawa, dan air mata meskipun semua yang tertulis di situ tentu saja sudah dialami dan dirasakan sebelumnya.
Tanpa terasa, jingga di ufuk timur telah terbit. Sudah pagi. Bacaannya pun sudah khatam. Ada yang kemudian disadarinya dan segera ia mencatat penemuan itu:
Tidak ada yang berbeda dan berubah di tiap tahunnya dalam hal waktu. Tiap tahun, hari Minggu, Senin, Selasa hingga Sabtu lalu kembali ke Minggu, tetap ada. Pagi, siang, sore, malam juga demikian. Polanya pun tetap sama; Minggu dulu lalu Senin, siang dulu lalu malam. Tapi setiap hari kita bangun, membuka mata membalas sambutan pagi yang menyapa dengan terang. Minggu, memang tetap Minggu yang besoknya sudah tentu Senin. Tapi rupanya segala sesuatu dalam tiap waktu yang eksistensial itu tidaklah sama. Apa yang terjadi di Minggu yang kemarin berbeda dengan Minggu pekan lalu. Apa yang dialami dan dirasakan pada sore hari di Rabu dua minggu lalu, berbeda dengan sore hari di Rabu kemarin. Dan seterusnya. Inilah menariknya .Inilah ajaibnya. Hanya kita yang sering tidak menyadarinya.
Meski bajumu cuma empat, celanamu tiga, dan kau kenakan bergantian setiap harinya, perubahan itu selalu ada. Seandainya baju dan celanamu itu punya mulut dan bisa ngomong, mereka akan memberitahumu apa yang disaksikannya saat menempel di badanmu dan menemanimu di mana pun kau berada dan ke mana pun kau mengarah di hari itu. Begitu juga dengan sandal atau sepatumu. Mereka mungkin saja lebih sadar dan lebih peka terhadap apa yang kau lewatkan. Lalu seketika kau terkejut, tercengang di hadapan kesaksian mereka. Rupanya dirimu betapa merugi. Tapi tidak usah menyesal. Bukankah sekarang kau sudah tahu bahwa setiap hari sebenarnya hari baru. Tidak ada yang sama terjadi di dalamnya. Lalu kenapa musti menunggu tiga satu desember untuk beresolusi, mengucap harap, dan memanjat doa? Berbahagilah, kau bisa bertahun baru setiap hari.
Selamat berhari baru!
Yogyakarta, 24 Desember 2010

Selasa, 26 Oktober 2010

Malam Ini Aku Malas ke Mana-mana


Malam ini aku malas ke mana-mana. Di luar hujan mengguyur. Eh, sekarang sudah tidak. Tapi tadi cukup deras meski sebentar. Curahan airnya seperti kalau ibu menyiram bebungaan di taman dari cerek penyiram. Sekali curah langsung basah semua. Makanya sekarang banyak tersisa genangan kecil di jalan-jalan yang tidak rata. Ada juga bau tanah yang menguap dikena hujan tadi sore itu. Aku suka baunya, tidak tahu kenapa. Hanya suka. Memang begitu, kan? Sesuatu yang kita suka tidak membutuhkan alasan untuk disukai. Suka yang tulus. Suka yang di luar jangkauan kata-kata. Dirasakan saja. Seperti aku suka kamu bukan karena kamu bla bla bla, melainkan aku suka kamu apa adanya kamu. Begitulah. Tapi malam ini aku malas ke mana-mana. Di luar sedang hujan. Eh, sekarang sudah tidak.

Aku malas ke mana-mana, bukan karena hujan rupanya. Aku baru sadar. Aku malas ke mana-mana karena ada sesuatu yang ingin kulakukan sendirian di kamarku. Aku ingin merenung, aku ingin melamun, aku ingin berkontemplasi. Seperti biasanya. Bukankah ini sudah jadi rutinitasku? Rutinitas yang begitu menyenangkan. Soalnya, setelah itu aku pasti tertawa. Ketawa yang terkikih-kikih, terkekeh-kekeh juga sering. Bahkan terkakak-kakak! Ah, sungguh, rasanya begitu melegakan. Plong! Kalau ada orang lain yang lihat mungkin mereka bilang aku gila. Biar saja, bagiku merekalah yang aneh. Suka liat-liatin orang gila lalu menertawakannya. Padahal orang gila mana tahu dan mana peduli mereka dibegitukan. Orang waras itu menertawakan kesia-siaannya. Mereka hanya tidak sadar. Haha! Eh, siapa yang gila sih sebenarnya?

Untunglah, besok tidak ada tugas kuliah yang harus dikumpulkan. Ah, tugas! Yang satu ini selalu saja mengambil jatah waktu atas hobi-hobiku. Eh, ngapain mikirin tugas di saat-saat seperti ini? Singkirkan jauh-jauh segala hal di luar sana. Ayo singkirkan, lupakan, lenyapkan. Malam ini, aku hanya ingin menikmati kesendirian dan menelanjangi diri dari hal-hal di luar diri.

Eh, aku keliru. Aku lupa kalau aku tidak usah memaksa diri menyingkirkan, melupakan, dan melenyapkan itu semua. Seperti senar gitar, nanti syaraf-syaraf otakku bisa putus kalau terlalu tegang. Bukankah suasana malam ini sudah santai dan tenang? Betapa ruginya kalau aku rusak dengan ketegangan yang konyol. Lebih baik aku mencipta jarak dan mengambil posisi di suatu sudut.

Aha! Aku jadi pengamat saja. Pengamat yang kerjanya hanya mengamati, tidak menilai. Begitu lebih baik. Lebih netral rasanya. Tanpa pretensi ini itu. Seperti penyendiri di suatu pojok di tengah keramaian. Aku bisa bebas mengamati segala sesuatu yang terlintas dipikiranku. Masa lalu, yang kemarin-kemarin, sampai yang barusan terjadi semenit lalu. Aku juga bisa belajar menerima diriku apa adanya. Satu hal yang sering aku lupa begitu rupa. Lebih sibuk berupaya menerima orang lain apa adanya, sementara diri sendiri dilupakan. Bukankah cara terbaik agar bisa menerima orang lain apa adanya adalah dengan belajar menerima diri sendiri terlebih dahulu, apa adanya?

Sudah…sudah, pemanasannya jangan terlalu panjang lebar. Kasur, bantal, pakaian yang tergantung di belakang pintu dan buku-buku di rak sudah siap sedia sedari tadi ingin menyaksikan ritual rutinku. Lampu juga sudah padam, telepon genggam sudah aku non aktifkan. Padahal baru jam 8. Nanti mereka protes lagi dibebastugaskan lebih dini begitu saja! Apalagi laba-laba itu di atas sana. Dia sudah selesai merajut jaring. Wah, dia seperti membuat balkonnya sendiri untuk menonton aksiku di bawah sini. Seperti menonton teater saja! Aku senang, aku bangga, semua makhluk di kamarku ini senang juga rupanya melihatku berkontemplasi.

Tuh, kan, panjang lebar jadinya! Sudah…sudah! Saatnya mulai. Dan setelah puas tertawa-tawa nanti, aku ingin mendengarkan Bob Dylan dan The Beatles bernyanyi mengantarku ke bentuk kontemplasi lain: tidur. Eh, maksudku lagu-lagu mereka bukan obat beracun yang ampuh untuk menyingkirkan insomniaku yang belakangan ini selalu betah bersamaku. Tidak bijaksana memperlakukan keduanya demikian, baik bagi lagu-lagu tersebut maupun insomniaku yang semakin dipaksa pergi justru semakin kuat pertahanannya. Maksudku setelah aku selesai menjalani ritualku lalu lanjut dipuaskan dan dimanjakan dengan karya-karya maha dahsyat Dylan dan Beatles, aku semakin merasa damai menuju alam mimpi.

Semoga hari esok, paginya dan pagiku cerah. Selamat malam!

Yogyakarta, 24 Oktober 2010

*foto oleh Fikri Yathir*