Selasa, 26 Oktober 2010

Malam Ini Aku Malas ke Mana-mana


Malam ini aku malas ke mana-mana. Di luar hujan mengguyur. Eh, sekarang sudah tidak. Tapi tadi cukup deras meski sebentar. Curahan airnya seperti kalau ibu menyiram bebungaan di taman dari cerek penyiram. Sekali curah langsung basah semua. Makanya sekarang banyak tersisa genangan kecil di jalan-jalan yang tidak rata. Ada juga bau tanah yang menguap dikena hujan tadi sore itu. Aku suka baunya, tidak tahu kenapa. Hanya suka. Memang begitu, kan? Sesuatu yang kita suka tidak membutuhkan alasan untuk disukai. Suka yang tulus. Suka yang di luar jangkauan kata-kata. Dirasakan saja. Seperti aku suka kamu bukan karena kamu bla bla bla, melainkan aku suka kamu apa adanya kamu. Begitulah. Tapi malam ini aku malas ke mana-mana. Di luar sedang hujan. Eh, sekarang sudah tidak.

Aku malas ke mana-mana, bukan karena hujan rupanya. Aku baru sadar. Aku malas ke mana-mana karena ada sesuatu yang ingin kulakukan sendirian di kamarku. Aku ingin merenung, aku ingin melamun, aku ingin berkontemplasi. Seperti biasanya. Bukankah ini sudah jadi rutinitasku? Rutinitas yang begitu menyenangkan. Soalnya, setelah itu aku pasti tertawa. Ketawa yang terkikih-kikih, terkekeh-kekeh juga sering. Bahkan terkakak-kakak! Ah, sungguh, rasanya begitu melegakan. Plong! Kalau ada orang lain yang lihat mungkin mereka bilang aku gila. Biar saja, bagiku merekalah yang aneh. Suka liat-liatin orang gila lalu menertawakannya. Padahal orang gila mana tahu dan mana peduli mereka dibegitukan. Orang waras itu menertawakan kesia-siaannya. Mereka hanya tidak sadar. Haha! Eh, siapa yang gila sih sebenarnya?

Untunglah, besok tidak ada tugas kuliah yang harus dikumpulkan. Ah, tugas! Yang satu ini selalu saja mengambil jatah waktu atas hobi-hobiku. Eh, ngapain mikirin tugas di saat-saat seperti ini? Singkirkan jauh-jauh segala hal di luar sana. Ayo singkirkan, lupakan, lenyapkan. Malam ini, aku hanya ingin menikmati kesendirian dan menelanjangi diri dari hal-hal di luar diri.

Eh, aku keliru. Aku lupa kalau aku tidak usah memaksa diri menyingkirkan, melupakan, dan melenyapkan itu semua. Seperti senar gitar, nanti syaraf-syaraf otakku bisa putus kalau terlalu tegang. Bukankah suasana malam ini sudah santai dan tenang? Betapa ruginya kalau aku rusak dengan ketegangan yang konyol. Lebih baik aku mencipta jarak dan mengambil posisi di suatu sudut.

Aha! Aku jadi pengamat saja. Pengamat yang kerjanya hanya mengamati, tidak menilai. Begitu lebih baik. Lebih netral rasanya. Tanpa pretensi ini itu. Seperti penyendiri di suatu pojok di tengah keramaian. Aku bisa bebas mengamati segala sesuatu yang terlintas dipikiranku. Masa lalu, yang kemarin-kemarin, sampai yang barusan terjadi semenit lalu. Aku juga bisa belajar menerima diriku apa adanya. Satu hal yang sering aku lupa begitu rupa. Lebih sibuk berupaya menerima orang lain apa adanya, sementara diri sendiri dilupakan. Bukankah cara terbaik agar bisa menerima orang lain apa adanya adalah dengan belajar menerima diri sendiri terlebih dahulu, apa adanya?

Sudah…sudah, pemanasannya jangan terlalu panjang lebar. Kasur, bantal, pakaian yang tergantung di belakang pintu dan buku-buku di rak sudah siap sedia sedari tadi ingin menyaksikan ritual rutinku. Lampu juga sudah padam, telepon genggam sudah aku non aktifkan. Padahal baru jam 8. Nanti mereka protes lagi dibebastugaskan lebih dini begitu saja! Apalagi laba-laba itu di atas sana. Dia sudah selesai merajut jaring. Wah, dia seperti membuat balkonnya sendiri untuk menonton aksiku di bawah sini. Seperti menonton teater saja! Aku senang, aku bangga, semua makhluk di kamarku ini senang juga rupanya melihatku berkontemplasi.

Tuh, kan, panjang lebar jadinya! Sudah…sudah! Saatnya mulai. Dan setelah puas tertawa-tawa nanti, aku ingin mendengarkan Bob Dylan dan The Beatles bernyanyi mengantarku ke bentuk kontemplasi lain: tidur. Eh, maksudku lagu-lagu mereka bukan obat beracun yang ampuh untuk menyingkirkan insomniaku yang belakangan ini selalu betah bersamaku. Tidak bijaksana memperlakukan keduanya demikian, baik bagi lagu-lagu tersebut maupun insomniaku yang semakin dipaksa pergi justru semakin kuat pertahanannya. Maksudku setelah aku selesai menjalani ritualku lalu lanjut dipuaskan dan dimanjakan dengan karya-karya maha dahsyat Dylan dan Beatles, aku semakin merasa damai menuju alam mimpi.

Semoga hari esok, paginya dan pagiku cerah. Selamat malam!

Yogyakarta, 24 Oktober 2010

*foto oleh Fikri Yathir*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ruang Tamu