Minggu, 25 Oktober 2009

Euthanasia: menurut pakar, kematian sepupu, dan menurut konteks 'Orang Sukaria'


Saat menulis note ini, saya baru selesai baca artikel tentang euthanasia dari majalah langganan kakak, Dokter Kita. Euthanasia berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani. Eu yang berarti baik atau bagus dan thanatos/thanasia yang berarti kematian. Dengan demikian, euthanasia berarti kematian yang wajar, normal, atau baik.

Euthanasia sendiri terbagi lagi jadi dua bentuk, aktif dan pasif. Euthanasia aktif yaitu suatu tindakan kesengajaan menghentikan penunjang hidup seseorang. Dengan kata lain, dia itu masih hidup namun proteksi terhadap dirinya sengaja dikurangi atau bahkan ditiadakan lagi. Misalnya, tidak lagi diberi antibiotik. Jadi kalau terkena infeksi, ya dibiarkan saja.

Contoh lain, bunuh diri seperti yang terjadi di luar negeri. Si pasien disambungkan ke komputer dan di-tenang-kan (diberi obat penenang). Jika dia tetap menekan tombol meminta kematian, maka dokter akan memasukkan cairan zat mematikan. Tapi zat itu sendiri baru bisa masuk ke tubuh si pasien jika dia sendiri yang menekan tombolnya.

Sedangkan kondisi euthanasia pasif adalah di mana seorang pasien yang masih hidup tergantung pada alat penunjang kehidupan yang jika alat tersebut dicabut atau dihentikan, maka dia akan mati. Namun menurut ahli forensik RS Cipto Mangunkusumo DR Dr Herkutanto, SH, SpF(K) seperti dikutip dari majalah yang model sampul depannya pasti selalu dokter-dokter Jakarta yang good looking tentunya, "Orang yang sebenarnya sudah mati, tetapi di ICU masih ditunjang seolah-olah hidup. Bila dicabut mesinnya dan mati, lalu disebut euthanasia. Itu bukan. Euthanasia adalah, orang yang masih hidup kemudian tidak diperpanjang lagi kehidupannya".

Sebagian kalangan menilai, euthanasia tak ubahnya tindakan pembunuhan. Namun sebagian lainnya menganggap, euthanasia boleh saja dilaksanakan demi membantu si pasien terlepas dari jeratan penderitaannya. Tentu saja bukan tanpa tedeng aling-aling. Banyak proses; negosiasi, pertimbangan (dari sisi agama, moral, hukum, dll), persetujuan pasien, keluarga pasien, pihak rumah sakit, surat-surat permohonan lengkap dari pengadilan, dan harus diputuskan oleh tim Majelis Hakim.

Menurut Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat H Cicut Sutiarso, SH, MHum siapa saja boleh mengajukan permohonan euthanasia, tapi keputusan dikabulkan atau tidak tergantung tim Majelis Hakim. Sedangkan menurut MUI, apa pun alasannya, euthanasia tetaplah haram hukumnya. "Dasar pelarangan euthanasia, memang tidak terdapat secara spesifik dalam Al-Quran maupun sunnah Nabi. Tapi tindakan membunuh orang karena faktor keputusasaan, tidak diperbolehkan dalam Islam" begitu penuturan Prof DR Hj Khuzaemah T Yanggo, Ketua MUI bidang Pengkajian dan Pengembangan.

Di Indonesia sendiri, belum/tidak ada aturan hukum yang memperbolehkan tindakan euthanasia. Namun kontroversi tersebut bukan hanya terjadi di negara kita. Di beberapa negara, pro kontra nya juga ramai. Makanya belum banyak juga negara lain yang melegalkan tindakan euthanasia.

Kematian sepupu, euthanasiakah?

Menjelang bulan ramadhan dua tahun lalu (2007), seorang sepupu yang sebaya dengan saya meninggal dunia setelah dirawat beberapa hari di ruang ICU RS Wahidin Sudirohusodo, Makassar. Dia sekaligus teman main, teman bersepeda, teman menyewa CD2 bajakan lalu nonton bareng, teman memetik cokelat atau lobe-lobe dari kebun orang lain di perumahan elit, dan juga teman berantem saya waktu masih ingusan sekali. Saya ada bersama sanak keluarga lain termasuk ibunya yang tak lain tante saya di hari berkabung itu. Hari tersebut juga merupakan pengalaman pertama saya menyaksikan langsung seseorang yang sakaratul maut sampai meningga dunia.

Saya tidak tahu pasti sakitnya apa. Yang saya tahu dia kecelakaan motor parah sampai saluran kencingnya disambung selang dan sudah dirawat tiga bulan (atau enam bulan ya?) sewaktu saya sudah pindah sekolah dari Jawa ke Makassar. Dia sempat pulang ke rumahnya. Waktu check up lagi ke rumah sakit yang sama, dia juga sudah jauh lebih baik. Malah datang ke sananya cuma berdua dengan seorang temannya. Tapi beberapa hari setelah itu, dia tiba-tiba sakit lagi. Semakin hari semakin parah sampai akhirnya kamar ICU yang tadi disebutkan adalah tempat peristirahatan terakhirnya di bumi sebelum masuk kubur.

Yang membuat saya bertanya-tanya bahkan sampai sekarang, kenapa dokter mencabut semua alat penunjang hidupnya waktu itu sambil berkata, "Sudah ya, Bu! Adik sudah tidak ada lagi"? Padahal saya menyaksikan sendiri grafik irama jantungnya belum lurus betul, begitu juga dengan nafasnya di ventilator. Belum nol, meskipun memang rendah dan kadang perubahan angkanya 'kaget-kagetan'.

Saya pun kemudian menanyakannya kepada kakak saya yang waktu itu masih co-assistant dokter. Katanya setelah dahinya berkerut sebentar,"Pasti dokter punya pertimbangan lain!". Dia memang tidak hadir hari itu, jadi dia tidak menyaksikan langsung bagaimana statistik alat-alat tersebut. Tapi, saya belum puas sampai detik ini,meskipun sudah mengikhlaskan kepergiannya! Pertimbangan apa? Karena memang sudah tidak ada harapan hidup lagikah? Karena memang sebenarnya sepupu saya itu sudah mati beberapa jam yang lalu dan hanya ditunjang berbagai alat artifisial untuk tetap hidup? Atau karena tidak tega melihat histeria keluarga saya? Atau justru tidak tahan?

Jika memang kasus sepupu saya ini adalah euthanasia, merujuk pada penjelasan Dr Herkutanto tadi, maka saya akan menyebut sepupu saya itu 'korban' euthanasia pasif. Kenapa korban? Karena belum adanya persetujuan dari pihak keluarga apalagi surat-surat permohonan sesuai prosedur pengadilan hingga keputusan tim Majelis Hakim. Tapi keluarga saya juga kayaknya malas berhubungan dengan segala tetek bengek birokrasi yang sering tidak jelas juntrungnya. Begitu pun dengan tim dokter yang menangani. Makanya lebih baik 'dimatikan' saja.

Saya tidak pernah tahu apakah sepupu saya itu memang sudah mau mati atau masih ingin hidup. Seandainya dia masih punya kekuatan untuk bicara waktu itu. Tapi banyak keluarga yang bilang bahwa yang sudah terjadi itulah yang terbaik. Saya meyakini dan menyetujui itu. Saya juga sudah sangat malas berandai-andai. Kata 'seandainya' sudah lama saya hapus dari kamus saya.

Mati Bagus, istilah "Orang Sukaria"

Orang Sukaria adalah istilah keluarga kami untuk menyebut sanak keluarga yang lain dan para tetangganya yang tinggal di sepanjang Jalan Sukaria 11, Makassar. Kehidupan bertetangga di wilayah itu sangatlah akrab dan memang sangat sukaria. Pagi hingga malam, anak-anak kecil tak hentinya berhamburan di sepanjang jalan untuk bermain-main. Anak-anak mudanya juga selalu ramai nongkrong di sana-sini. Pun dengan para orang dewasanya. Mereka selalu berkumpul, rumpi, bersenda gurau, dan tak jarang 'makan keroyokan'. Ramai dan seru. Apa pun makanannya.

Di hari lebaran lalu, saya dan keluarga mengunjungi sanak saudara di sana. Setelah kenyang keliling makan dari pintu ke pintu, kami semua duduk-duduk di balla-balla kayu di bawah rumah tante saya. Tempatnya sederhana namun anginnya sepoi-sepoi. Pas untuk berteduh dari siang itu yang puaaanasss.

Di tengah canda gurau, saya tertarik mendengar istilah 'mati bagus'. Asing bagi saya namun keluarga yang tinggal di sana nampak sudah akrab dengan istilah ini. Saya pun bertanya, "Apa itu? Kok mati bagus?". Dan jawabannya sangat menggelikan.

Mati bagus itu adalah istilah untuk menyebut kematian seseorang yang terjadi tanpa ada penyebab apa-apa, seperti sakit, kecelakaan, jatuh,dll. Misalnya, seperti yang pernah terjadi dengan seorang tetangga mereka yang tiba-tiba saja meninggal sewaktu sujud saat sholat idul fitri padahal sebelumnya tidak sakit dan tidak punya penyakit apa-apa. Matinya memang bagus ya?

Apa mati bagus orang Sukaria ini adalah bentuk manifestasi lain dari pengertian euthanasia?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ruang Tamu