Omar Menyuntikkan Hentak Hip Hop dalam Puisi
What a day! Itulah yang diungkapkan citizen reporter Muhammad Arief Al Fikri setelah mengikuti kegiatan Omar Musa, artis hip hop dan penyair asal Australia yang hadir di empat acara secara maraton di Makassar, 15 Oktober lalu. Dari Omar, Fikri belajar banyak tentang dunia kreatif, upaya refleksi dan perenungan, kepenyairan dan pergelutan dengan identitas diri serta berbagai persoalan sosial, meski tetap ingin tampil asyik seperti layaknya anak muda kebanyakan. (p!)Omar Musa adalah seorang seniman yang menyebut dirinya penyair dan penyanyi hip hop. Ia sangat kreatif. Menciptakan dimensi baru dalam dunia permusikan dan kepenyairan dengan menampilkan puisi dalam bentuk nyanyian hip hop. Di usianya yang terbilang muda, 25 tahun, Omar telah menjuarai Australian National Poetry Slam, tahun lalu.
Sebelumnya, ia sudah sering menyabet gelar juara dalam berbagi perlombaan poetry slam. Ia baru saja merilis album perdananya berjudul The Massive EP. Semua lagu ditulis di London, Inggris dan direkam di Seattle, Amerika. Ia juga menerbitkan buku antologi puisi pertamanya berjudul The Clocks. Lagu dari album dan kumpulan puisinya inilah yang dipersembahkan dalam empat penampilan di Makassar . Hasilnya…semua orang terkesima, merapat, menyimak kisah yang dituturkannnya, terhibur dengan puisi yang dilagukannya.
Omar memang memiliki identitas yang unik. Ia seorang muslim (mengucapkan assalamu alaikum di setiap awal pentas), ia peranakan Malaysia-Australia-Irlandi
Saat ini, Omar menetap di Queanbeyan, negara bagian New South Wales, Australia bersama keluarganya. Ia juga mengajar anak-anak Aborijin dan sering berkeliling dunia.
Kunjungannya ke Makassar merupakan bagian satellite event Ubud Writers and Readers Festival bekerjasama dengan Makkunrai Project, Panyingkul!, Bengkel Sastra UNM. Omar bersama puluhan penulis berada di Ubud, Bali selama seminggu sebelum memulai perjalanan ke Yogyakarta, Makassar dan Jakarta. Dari menjelang siang hingga menjelang larut malam hari Kamis 15 Oktober, saya mengikuti kegiatan Omar.
Setelah melakukan pementasan, kami jalan-jalan, wisata kuliner dan mengobrol tentang proses kreatif dan kesehariannya. Ia memukau puluhan mahasiswa dan dosen di Panggung Sastra Daeng Pamatte Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Negeri Makassar (UNM), ia jadi idola dan menyebabkan histeria saat tampil di panggung terbuka SMA Katolik Cendrawasih. Anak-anak muda mendekat dan menyimak penampilannya dengan penuh rasa ingin tahu di Kantin Pasar Universitas Hasanuddin (Unhas). Puncaknya, di penghujung acara pentas seni UNM Arts Moment 2009 di Benteng Fort Rotterdam, orang-orang melonjak menikmati hentak hip-hop dan puisi yang didendangkannya.
Awalnya saya merasa kikuk. Juga tidak pe-de. Tapi Omar ternyata ramah dan bersahabat. Sejak makan siang di warung Coto Gagak lalu lanjut minum es kelapa muda dan es teler di depan Fort Rotterdam setelah Omar tampil di SMA Katolik Cendrawasih (Katto’ dalam istilah gaulnya), pelan-pelan kami akrab satu sama lain. Saya kaget, ternyata Omar doyan coto! Satu porsi sedikit lagi ludes, dan Abdi Karya, yang menjadi pendampingnya selama berada di Makassar, bertanya “Want more?” Langsung dijawab Omar tanpa malu,”Ya!”. Saya pun seketika tersenyum nyaris tertawa. Tapi saya senang ia tidak malu-malu. Ini tentu semakin membuat kami merasa nyaman satu sama lain.
Omar bercerita mengenai sejarah singkat musik hip hop yang menurutnya berawal dari aliran break dance. Hip hop dianggapnya sebagai genre musik yang paling pas mengekespresikan puisi-puisi yang ditulisnya. Bayangkan, puisi yang dijadikan lagu hiphop! Ia juga membagi cerita yang lebih personal seperti masa SMA-nya di Australia, makanan kegemarannya: sop (apa pun sopnya) dan minuman favorit nomor satu yang selalu dicarinya: es kelapa. Sungguh sangat Asia dia soal makanan!
Tapi Omar tidak hanya ingin didengarkan. Ia juga menyimak cerita orang-orang yang ditemuinya. Ia mengangguk-angguk serius mendengar keluhan krisis listrik di Makassar. Ia juga sangat tertarik dengan cerita-cerita kami –khususnya dari Abdi Karya - mengenai kesenian dan kuliner tradisional Indonesia, terutama Makassar. Sepanjang perjalanan, Omar juga diperdengarkan lagu-lagu daerah Bugis Makassar dan dangdut yang sengaja diputar Abdi selama perjalanan dari Fort Rotterdam ke Unhas dan dari Unhas ke Kafe Baca Biblioholic. Iramanya mirip dengan lagu-lagu India, kata Omar.
Jalan hidup hip hop
Tampil di empat acara dalam satu hari memang melelahkan. Tapi Omar begitu bersemangat. Ia membawakan lagu-lagunya lalu membagi ragam kisah pengalaman hidupnya.
Dia mampu membuat anak-anak remaja di SMA Katolik Cendrawasih bertepuk dan bergoyang. Suasana sungguh cair. Makin lama makin heboh. Guru-guru mendekat, ikut larut dalam hentakan hiphop. Perkusi yang ditabuh Abdi menambah hangat suasana. Omar beratraksi dengan gaya cuci piring --begitu saya menyebut gerakan tangan khas DJ memainkan piringan hitam--, ia juga menunjukan gaya menekuk kedua lutut dengan salah satu kaki di depan sambil menunjuk-nunjuk ke bawah dengan satu tangan sementara tangan lainnya memegang mikrofon. Ia lalu menendang udara sambil memutar badan.
Omar malah spontan mengarang dan menyanyikan lagu ‘mati lampu’ karena memang pada saat itu listrik sedang padam. Tawa pun seketika pecah. Pokoknya, sorak sorai, gelak tawa dan tepuk tangan tak henti membungkus suasana siang yang panas. He is a professional performer!
Di Kantin Pasar, Omar berkisah saat masih berusia ingusan, 8 tahun, penyair besar Indonesia almarhum WS Rendra pernah datang ke kota tempat tinggalnya di Australia, membawakan puisi di depan banyak orang. Omar mengaku kagum menyaksikan penampilan Rendra. Ia takjub bagaimana sajak-sajak bisa disampaikan dengan ekspresi, intonasi, dan gaya yang begitu berciri khas. Saya dan penonton lain yang semuanya mahasiswa tidak menyangka sekaligus bangga, Omar ternyata terinspirasi oleh penyair Indonesia.
Menurut Omar, Indonesia memiliki sejarah panjang dalam budaya literasi , termasuk puisi yang membuatnya tertarik, karena orang Indonesia punya cara lain yang lebih kreatif dan lebih nyambung ke penonton dalam menampilkan puisi. Ia tidak ingin sekedar membacakannya, ia ingin menyampaikannya dalam kemasan segar. Iwan Fals dan Ebiet G. Ade adalah dua contoh seniman Indonesia yang membawakan syair-syair puitiknya melalui lagu-lagu balada yang lebih mudah dan lebih asik dinikmati oleh semua kalangan usia.
Inspiring idol -nya adalah artis hip hop Tupac Shakur asal Amerika yang meskipun di beberapa lagunya banyak kata kasar dan jorok, namun ada juga yang mengangkat tema-tema manusiawi dan persoalan moral dengan bahasa sopan.
Lantas, kenapa memilih hip hop?
Omar bercerita bahwa awal kecintaannya terhadap musik hip hop adalah ketika berumur 12 tahun. Selain itu, dia juga suka dengan syair dan puisi. Lambat laun, sebagai kaum muda, Omar sangat menyadari bahwa perlu ada inovasi untuk keluar dari cara-cara berpuisi yang konvensional ke dimensi yang lebih kontemporer. Bagi Omar, hip hop sebagai musik yang banyak digandrungi anak-anak muda masa kini adalah senjata paling ampuh untuk membuat mereka tertarik mengapresiasi puisi. Membaca, mendengarkan, memahami, dan bahkan kalau bisa, juga membuat puisi. Omar juga ingin mereka tidak lagi hanya mendengar musiknya (hip hop), tanpa tahu pesan yang disampaikan lagunya lalu sok asik setiap menyanyikannya.
Kedua, bahasa yang digunakan dalam ber-hip hop mudah dipahami siapa saja alias simpel, namun tetap sarat ekspresi emosional. Tidak perlu banyak diksi atau istilah yang dipermainkan sana-sini, seperti yang dilakukan para penyair lain, sehingga yang mengerti hanya mereka yang sarjana, budayawan, sastrawan, kritikus dan sebagainya. Ia ingin syairnya bisa dinikmati semua level usia dan semua kalangan.
Ketiga, karena kesederhanaan bahasa hip hop itu sendiri, jadi bisa dibuat secara spontan. Misalnya ketika duduk-duduk santai sambil berdiskusi bareng teman, atau seperti yang dilakukan Omar sendiri sewaktu manggung di SMA Katolik Cendrawasih
Ironisnya, banyak yang ‘memanfaatkan’ spontanitas hip hop tersebut untuk saling mencaci maki, mencela, dan mengekspresikan amarah atau protes mereka dengan kata-kata kotor nan jorok, seperti yang ditemukan dalam karya pemusik hip hop mainstream. Namun bagi Omar, hal itu tidak bisa dihindari, tapi ia sendiri ingin menunjukkan lewat hip hop ia bisa memperkenalkan bahasa puitis.
“Kenapa saya memilih hip hop untuk menyanyikan puisi saya? Karena inilah musik generasi sekarang. Saya sendiri tidak yakin apakah akan menggunakan hip hop juga jika lahir 15 atau 30 tahun lalu. Saya mungkin akan pilih genre lain bila lahir 15 tahun ke depan, yang menyajikan tren musik lain…”
Ayah, Nenek, dan Sepatu Nike
Omar memang penyanyi hip hop. Tapi lagu-lagunya tidak menyebut-nyebut perempuan, kekerasan, senjata, atau drugs dengan bahasa seronok juga vulgar. Sebaliknya ia bercerita tentang pengalaman sehari-harinya, pergulatan dan hubungan dengan sesame manusia. Ada juga isu-isu sosial berdasarkan pengalaman dekatnya, seperti kemiskinan yang ia jumpai di beberapa negara yang sudah dikunjunginya.
Ada dua puisi Omar yang sangat menyentuh dalam empat penampilannya di Makassar. Pertama, Father, yang bercerita tentang hubungan ayah dan anak. Anak kecil dalam puisinya selalu merasa ayahnya seperti raksasa. Tapi semakin tumbuh besar, relasi anak-ayah pun semakin egaliter, bahkan sering salah paham dan pertengkaran pecah. Suatu saat ia memutuskan untuk pindah ke Amerika, sementara ayahnya tetap tinggal di Australia. Sewaktu ia pulang karena ayahnya sakit dan sudah terbaring sekarat di rumah sakit, ia pun semakin menyadari betapa dirinya memang banyak kemiripan dengan ayahnya, di antaranya warna kulit mereka sama dan memiliki selera humor yang sama. Ketika ayahnya meninggal, ia pun menyesal. Banyak sekali yang belum ia ceritakan kepada ayahnya. Ia berandai-andai, jikalau ayahnya sekarang masih hidup, ia akan menceritakan banyak hal mengenai pengalaman yang dijumpainya selama ini.
Setiap ia menyanyikan puisi Father ini, Omar selalu menatap ke satu titik. Cukup lama. Seakan ia memvisualisasikan potret ayahnya dan memutar segenap rekaman kenangan bersamanya. Mendengar ini, saya teringat film dengan kisah serupa yang dibintangi oleh Jim Broadbent dan Colin Firth, And When Did You Last See Your Father?
Cerita lain yang tidak kalah menyentuh dan membuat banyak penonton ikut terharu adalah kisah sepatu Nike dan neneknya dalam puisi When Nike Just Released Airforce Series. Pernah, suatu saat, tokoh dalam puisi ini mendapat kerja sambilan dan dibayar dengan upah 300 dollar. Dengan uang itu ia pun berkeinginan membeli sepatu Nike saat itu juga. “Kan sepatu Nike sepatunya rapper!” katanya. Ketika bersiap pergi ke toko sepatu, ayahnya menyarankan, “Kamu tidak usah beli sepatu mahal itu. Mendingan kamu kirimkan uang itu ke nenekmu di Sabah sana. Ia kan sangat membutuhkan.” tutur Omar menirukan ayahnya.
Nenek Omar memang miskin. Pekerjaan sehari-harinya adalah sebagai penadah getah karet di pedalaman Sabah. Upah hariannya hanya sebesar ‘tahi kuku’ dibanding upah sekali manggung Omar. “But I don’t care!” lanjut Omar sambil mengibaskan kedua tangannya dengan mimik muka orang meremehkan bermaksud mengulang bagaimana responnya waktu itu. Ia pun tetap pergi ke toko tersebut. Di etalase toko, sepatu Nike yang dipajang dipegang sambil merenung. Omar mengambil dan memerhatikannya kemudian bertanya-tanya dari bahan apa sih sepatu ini dibuat?
Sepatu itu terbuat dari bahan kulit dan solnya dari karet.
Karet? Ia teringat hutan karet di Malaysia. Ya, ia teringat neneknya sebagai penadah getah karet. Ia pun menghubung-hubungkan semuanya. Sepatu Nike seharga 300 dollar, solnya dibuat dari karet. Karet itu tentu didapat dari pohon karet yang getahnya ditadah terlebih dahulu lalu diproses dengan susah payah sampai menjadi sol. Dari manakah karet ini berasal dan siapakah penadahnya? Ia lantas menebak-nebak. Mungkin saja berasal dari Sabah yang ditadah oleh neneknya sendiri. Seketika ia tersadar, bagaimana bisa upah penadah karet seperti neneknya sangat kecil sedangkan bahan baku utama sol sepatu mahal ini adalah karet? Bijakkah jika 300 dollar ia habiskan untuk membeli sepatu bersol karet itu daripada mengirimkannya ke neneknya yang penadah karet?
“Saya meletakkan kembali sepatu itu dan sudah tahu apa yang harus saya lakukan…” kata Omar menutup pembacaan puisinya.
Semua yang mendengar kisah itu terharu lalu memberi tepukan meriah. Omar, dalam hentak hip hop menghadirkan kisah yang puitis dan mengiris.
Di akhir pementasan keempat, ia membungkuk takzim, meneriakkan, “Terima kasih. Makassar is so great!” Lalu ia turun dari panggung. Ia melirik Abdi yang juga kelelahan menabuh perkusi.
Dalam perjalanan pulang, Omar masih harus sabar menebar senyum, membalas sapaan, memberi tanda tangan dan memenuhi ajakan foto bersama. Lelah tapi ia tampak puas.
Malam kami tutup dengan makan malam. Dan seperti yang sudah diduga, lagi-lagi ia memesan segelas es kelapa muda! "Tak ada kelapa segar di Australia....," katanya.
*Bisa juga dibaca di: http://panyingkul.com/view
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ruang Tamu