Meliburkan Diri #2: Susur Ciliwung
Jakarta, 23 Desember 2011.
Kegiatan
pertama di Jakarta dalam rangka meliburkan diri adalah ikut kelas
teman saya di kampusnya. Teman saya anak teknik elektro UI, dan dia
mengajak saya ikut kelasnya jam 10 pagi. Dia ada presentasi katanya.
Saya pun tertarik meskipun awalnya sedikit canggung karena selain pakai
sendal dan belum mandi (hanya cuci muka), saya tidak kenal siapa-siapa
selain dia seorang.
Tanpa
saya nyana, saya diperkenalkan oleh teman saya kepada teman
angkatannya yang asli Jogja. Dia alumni SMU 1 Yogyakarta yang di Jogja
sekolah itu terkenal dengan sebutan ‘teladan’. Kami pun mengobrol, dan
rupanya dia juga hobi munggah (naik) gunung. Pembicaraan pun semakin mengalir meski kemudian dia pindah tempat ke teman-teman sekelompok presentasinya.
Singkat
cerita, saya duduk di bagian belakang kelas. Saya memanfaatkan momen
ini untuk mengamati anak-anak UI sekaligus membandingkan mahasiswa
Jakarta dengan mahasiswa ‘Jawa’. Memang ada perbedaan. Keduanya punya
ciri khas. Mahasiswa Jakarta cenderung ‘semau gue’ dan mahasiswa Jawa
cenderung ‘alon-alon waton kelakon’. Halah!
Malam harinya, saya sedang dalam jaringan (online) di twitter. Di linimasa (timeline), ada twit dari @tjiliwoeng yang di retweet
oleh @generationid. Isinya mengundang siapa pun bagi yang ingin ikut
susur Sungai Ciliwung dengan perahu karet keesokan paginya, jam 8. Saya
pun langsung tertarik dan menghubungi contact person nya.
***
Jakarta, 24 desember 2011
Besoknya,
sabtu pagi mendekati jam 8, dengan berbekal informasi dari teman yang
saya tumpangi apartemennya di Margonda Residence, saya berangkat ke
Stasiun Pondok Cina di daerah Depok. Berdasarkan informasi contact person
tadi, di situlah tempat kumpul sebelum berangkat. Meski sebenarnya
masih sangat mengantuk tapi saya juga sungguh semangat. Saya membranikan
diri menyusuri gang-gang sempit dan rel-rel kereta sekitar kampus UI.
Singkat
cerita, tibalah saya di ondok cina. Sekitar setengah jam menunggu dan
sepengamatan saya tidak ada tanda-tanda rombongan @tjiliwoeng itu, saya
mengirim pesan ke contact person nya. Rupanya kumpulnya di
Gramedia, seberang jalan stasiun. Saya pun langsung ke sana. Di sana,
sudah ada beberapa orang yang berkumpul.
Awalnya
saya berjalan melewati rombongan itu, meskipun sudah melihat seorang
gemuk berkaos hijau dengan tulisan "Komunitas Peduli Ciliwung Bogor".
Saya lewati dulu karena saya bingung harus berkenalan bagaimana.
Akhirnya setelah kira-kira 2 meter lewat, saya kembali dan langsung nyamber
"Mas, ini yang mau susur ciliwung itu ya?" dan alhamdulillah segera
dijawab iya. Dia dan seorang temannya menanyakan saya dari mana, sama
siapa, dan tahu informasi susur ini dari mana. Saya pun menjelaskan.
Melihat
rombongan yang mau berangkat, saya seketika kaget. Pertama, karena
rata-rata dari rombongan itu punya kenalan, sementara saya tidak. Ada
yang sekeluarga dan ada juga yang bareng teman-temannya. Awalnya saya
sudah mengajak dua orang teman saya, tapi karena satu dan lain hal
mereka tidak ikut. Jadilah, saya betul-betul sendirian. Hal kedua yang
bikin saya surprised adalah bahwa dalam rombongan itu, ada juga
beberapa dari media: metro tv, tv one, mnc tv, tempo, dan
beritasatu.com. Saya kira, ini adalah kegiatan yang dilakukan oleh
komunitas kecil plus tidak populer dan yang ikut paling beberapa orang,
serta sama sekali tidak kepikiran akan ada media yang ikut serta. Tapi
sutralah, saya toh tetap santai saja!
Sekitar
jam 9 lewat kami berangkat. Ada sekitar 7 mobil kalau saya tidak salah
ingat. Saya semobil dengan kru beritasatu.com. Salah seorang krunya
mengajak berkenalan dan mengobrol. Dia bertanya-tanya bagaimana
ceritanya saya bisa ikut kegiatan ini. Mendengar kronologi
keikutsertaan saya di mana ada alur Makassar-Jogja-Jakarta-Depok di
dalamnya, dia langsung berkomentar,"Wah iseng juga lu ya ikut beginian.
Tapi baguslah!". Dan saat kru tersebut tahu bahwa saya kuliah di
jurusan Antropologi Budaya, saya kaget mendegar respon mereka yang
serentak,"Waaah, hebat..hebat!". Kagetnya saya adalah bahwa sangat
jarang saya mendengar respon seperti itu setiap kali mengucapkan nama
jurusan saya. Kalau bukan 'gali batu', ya 'liat-liat bintang' yang
seringnya saya temui. Tapi kali ini, saya senang dan cukup bangga
mendengarnya.
Tempat
berkumpul kedua sebelum berangkat tidak jauh dari Gramedia Depok,
ditempuh dengan berjalan kaki pun bisa. Di situ, segala persiapan
dilakukan. Perahu-perahu karet yang asoy geboy itu yang akan digunakan
untuk penyusuran, dimpompa terlebih dahulu. Saat briefing dan
sebelum berdoa, saya baru tahu bahwa selain dari individu, kelompok,
dan media, ada beberapa komunitas yang terlibat, seperti Green Camp
Halimun sebagai penyedia perahu karet, Komunitas Histeria Indonesia,
Komunitas Ciliwung Condet, dan ada lagi tapi saya lupa. Saat briefing
tersebut, mereka menjelaskan kegiatan-kegiatan mereka yang membuat
saya salut akan kecintaan mereka terhadap konservasi alam, terutama
ciliwung.
***
Setelah
berdoa, kami pun berangkat. Totalnya ada 4 perahu, dengan 8 penumpang
setiap perahunya. Saya seperahu dengan rombongan Tempo, TvOne, seorang
fotografer perempuan, seorang bapak yang katanya tahu banyak tentang
ciliwung dan kegiatan susur ini, seorang dari Green Camp Halimun, dan
lagi-lagi kru beritasatu.com. Salah seorang kru dari beritasatu.com ini
yang duduk bersebelahan di baris kedua dalam mobil tadi sudah terbiasa
menyapa saya dengan "Fik" layaknya sudah akrab, padahal saya sendiri
sebenarnya lupa namanya. :)
Meskipun
saya merasa asing dan konyol dengan diri saya sendiri ikut kegiatan
ini, tapi saya senang. Saya mendapatkan pengalaman yang seru dan
berharga. Perahu kami adalah satu-satunya perahu yang tidak bermesin
motor. Jadi digerakkan dengan manual: didayung. Sepanjang penyusuran
berkali-kali kami melewati arus yang cukup deras, perahu terombang
ambing, kecipratan air ciliwung, ketahan bambu-bambu dan sampah di
tengah-tengah sungai. Untungnya rekan-rekan media dan komunitas itu
punya selera humor yang oke punya. Jadi meskipun sebenarnya kami
lumayan was-was setiap kali melihat arus yang cukup deras di depan
sana, kami pasti sudah terhibur duluan. Apalagi semuanya bawa kamera
dan balckberry (kecuali saya yang tidak punya BB). Ungkapan-ungkapan
seperti wah, kamera gua nih!, gua sih kaga apa-apa, tapi kameranya, atau eh BB..BB mending dimasukin plastik sini membuat saya sadar bahwa untuk manusia zaman sekarang, gadget itu lebih berharga dari diri sendiri :p
Setelah
kurang lebih dari 2 jam penyusuran, kami tina di pos pertama.
Lokasinya di bawah jembatan. Di situ, kami minum dan makan roti yang
disediakan penyelenggara dan beristirahat sejenak serta memompa perahu
yang agak kempes. Salah seorang memberi instruksi bahwa masih ada
beberapa pos, jadi bagi yang ingin melewati jalur darat, silakan
bertukar karena masih ada beberapa peserta yang belum ikut susur sungai
lewat jalur sungai. Saya dan beberapa orang memustuskan untuk tukaran.
Tapi bagi saya pribadi, saya merasa cukup sampai di sini keikutsertaan
saya. Selain sudah capek, saya ada janji sama teman mau ke acara Holy
Market, yakni acara garage sale yang diselenggarakan oleh Ruang
Rupa (komunitas seniman Jakarta) di bilangan Tebet, Jakarta Selatan.
Akhirnya, saya pun ngacir. Ini kali pertama saya manjat tanah-tanah
miring, becek dan bau karena penuh sampah. Belum lagi sampahnya sudah
bercampur amburadul antara yang organik dengan yang non-organik.
Kemiringannya juga lumayan curam dan licin, plus banyak semut dan sarang
laba-laba.
Setelah tiba di atas (jalan raya), saya segera naik angkot kembali ke Depok. Lagi-lagi saya surprised.
Ternyata, setelah lebih 2 jam penyusuran, pos pertama itu tadi adalah
masih di daerah Depok, sekitar 2 kilo dari Margonda Residence, tempat
teman saya. Saya kira sudah cukup jauh. Saya kaget karena sewaktu
melihat alamat di barisan toko-toko di jalan, tertulis "Jalan Margonda
Raya'. Saya pun berseru dalam hati jadi dari tadi itu kita masih di Depok aja nih.
Saya jadi mafhum, pantesan baru dua gunung sampah yang dilewati dari
38 titik gunung sampah sampai tempat finish, Condet, Jakarta Timur. Dan
tidak sampai 5 menit, saya sudah melihat warung Es Pocong, tempat saya
dan teman saya makan tadi malam. Warung ini letaknya tidak jauh dari
seberang apartemen teman saya dan mengenai menunya, nama-namanya aneh
berbau mistis, seperti mie ronggeng, nasi tuyul, mendoan iblis, sate
mayat, lontong setan, dan sebagainya.
Meskipun
saya tidak sampai selesai ikut susur ciliwung, saya dapat pengalaman
yang seru. Selain itu, saya juga sudah melihat bagaimana orang media
ketika off-air dan bagaimana ketika lagi on camera,
bagaimana sebagian orang Jakarta memandang ciliwung, apa saja yanag ada
di ciliwung, dan sebagainya. Meskipun awalnya saya merasa asing, tapi
saya sama sekali tidak pernah menyesal ikut susur ciliwung ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ruang Tamu