Minggu, 20 September 2009


To Kill A Mockingbird

"Kita tidak akan pernah bisa memahami seseorang sampai kita melihat segala sesuatu dari sudut pandangnya, masuk ke dalam kulit-kulitnya, dan menjalani hidup dengan caranya" karakter Atticus Finch


Itulah ungkapan pembuka novel ini yang langsung memaku perhatian saya untuk membacanya. Sebuah novel yang sangat indah tentang kasih sayang dan prasangka.

To Kill A Mockingbird ditulis oleh Harper Lee, sastrawan berkebangsaan Amerika, berdasarkan pengamatannya terhadap keluarga dan tetangga-tetangganya sewaktu ia masih 10 tahun. Memenangkan penghargaan Pulitzer 1961.

Novel pertamanya ini juga telah difilmkan oleh Robert Mulligan dan mendapat penghargaan sebagai film terbaik sepanjang masa versi film hukum pengadilan. Dengan setting suatu daerah pemukiman di Maycomb County, Alabama, membawa saya ke dalam cerita yang sangat menyentuh, kadang humoris, dan sering membuat saya membaca berulang-ulang bilamana menemukan ungkapan yang ‘menyentil’ kesadaran dan sisi kemanusiaan, lalu merenung sebentar setelah itu. Karakter-karakternya sungguh hidup dan pantas dikenang. Dialog-dialognya bernas. Suasana dan tempat juga digambarkan dengan indah. Buku ini bikin gregetan!

Dikisahkan dari sudut pandang seorang gadis kecil berumur belum 10 yang nakal tapi cerdas, buku ini bercerita mengenai Atticus Finch, seorang pengacara yang sungguh berkarakter; bijaksana dan karismatik, yang kehidupan keluarganya banyak berubah semenjak ia memutuskan dengan berani untuk membela seorang kaum Nigger yang dituduh menjahati keperawanan seorang gadis muda berkulit putih. Banyak yang menolak keras keputusannya apalagi mencemooh bahwa seorang kulit putih tidak pantas membela seorang kulit hitam.

Kedua putra putrinya juga kena ejekan teman-teman mereka di sekolah karenanya. Bahkan pengadilan pun yang menurut Atticus sebagai satu-satunya tempat di mana keadilan adalah keadilan, ternyata para jurinya tidak berhasil jujur dengan nurani mereka. Diskriminasi ras memang menjadi isu yang menyita banyak porsi dalam cerita, namun disajikan dengan sangat baik sejak awal.

Selain itu, kisah mengenai keluarga Radley yang misterius yang rumahnya dianggap ‘angker’ oleh para tetangga sehingga tidak ada yang berani bergaul dengan mereka, bahkan takut jika lewat depan rumahnya merupakan kisah mengenai prasangka dan kasih sayang yang begitu menggugah.

Arthur ‘Boo’ Radley, seorang pemuda yang tidak pernah keluar rumah selama dua puluh lima tahun. Masa belianya yang berantakan dan didikan ayahnya yang sangat keras membuat ia menjadi karakter yang misterius dan ditakuti semua orang. Desas-desus yang berkembang bahwa ia tidak segan-segan menyakiti siapa pun, sekali pun dirinya sendiri bahkan ibu kandungnya. Ia dicap berkelainan jiwa.

Di akhir cerita, semua prasangka itu terbantahkan. Arthur, si physco menurut orang, ternyata dialah selama ini yang menaruh berbagai macam hadiah di pohon ek besar di halaman rumahnya, mulai dari jam tangan tua yang sudah rusak, permen karet, kotak mainan, sampai sepasang boneka laki-laki dan perempuan untuk Jem dan Scout, putra putri Atticus yang setiap pergi dan pulang sekolah melewati pohon itu. Ia jugalah yang menolong dan menyelamatkan keduanya ketika akan dibunuh oleh Bob Ewell, pria tua yang dendam terhadap Atticus karena telah membuatnya malu di pengadilan. Semua itu merupakan ungkapan terima kasih Arthur kepada Jem dan Scout yang setiap liburan musim panas selalu sembunyi-sembunyi karena takut namun penasaran, mencoba mengajaknya keluar bermain bersama mereka. Aah, indah sekali ceritanya!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ruang Tamu