Jumat, 09 Januari 2009

Nama Saya Terserah

PERKENALKAN
. Saya Muhammad Arief Al-Fikri. Ingat, ada sematan huruf ”e” pada ”Arief”. Saya agak risih jika menemukan nama saya disunat huruf ”e” nya, baik itu dalam daftar absensi kelas, sertifikat, surat keterangan dokter, maupun di saat guru saya mencatat ”Arif” saja dalam daftar murid2nya yang belum melunasi hutang buku paket. Entah mengapa demikian. Mengapa bukan ”Arif” sebagaimana dalam Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Namun itulah yang tertulis di akte kelahiran saya. Orang tua sayalah yang memberi nama itu. Mungkin mereka berdua yang memang terlalu keren sebagai manusia ”tempoe doeloe” atau ada unsur tidak sengaja dalam pengetikannya. Yang penting, saya bangga memiliki nama indah ini. Dan sewaktu saya masih duduk di bangku SD, saya baru mengetahui bahwa nama tersebut secara etimologis berasal dari Bahasa Arab. Arief berasal dari kata ’aarif yang dalam ilmu shorf merupakan faa’il (subjek) yang berarti ”mengetahui”, sedangkan Al-Fikri berarti ”pikiran”. Jika diartikan secara keseluruhan, artinya ”orang yang tahu berpikir”. Begitu pula kata Ummi dan Aji saya (demikian anak2nya menyapa keduanya). Sedangkan nama paling depan saya –Muhammad- hanyalah sebagai identitas pengikut Nabi Muhammad, sebagaimana nama depan kaum muslim kebanyakan. Wah, ternyata terkandung doa dalam makna nama saya. Semoga saya sendiri mampu mengamininya.

Jika ditanya siapa nama panggilan (nickname) saya, maka akan saya jawab hanya dengan satu kata, Terserah. Setiap orang yang sudah kenal saya dan saya kenal, memanggil saya sesuka hati mereka. Ada yang tanpa alasan, namun ada juga yang memiliki alasan historis mengenai sapaan mereka kepada saya, baik saya tanya ataupun saya tidak tanya mengapa demikian.

Nama Kecil Saya

Saya berasal dari keluarga suku Makassar. Tulen. Asli seasli-aslinya. Baik dari silsilah keluarga ayah, maupu ibu. Sehari-hari, kedua orang tua bercakap dengan bahasa Makassar. Ditambah lagi saya besar di lingkungan orang-orang yang selalu menggunakan bahasa Makassar. Sekalipun bersuku Bugis bahkan Chinese. Jadi wajar saja kan jika saya tahu banyak dan cukup lancar berbahasa Makassar. Dan secara pengalaman, saya tahu atau sok tahu bahwa orang yang sudah terbiasa berbahasa daerah tidak terbiasa menyertai huruf F dalam percakapannya. Kalau bukan huruf P sebagai penggantinya, tanda koma atas (apostrophe) juga boleh. Saya tidak tahu mengapa demikian. Mungkin saja ini merupakan budaya verbal masyarakat Sulawesi Selatan. Oleh karena itu, saya maklum mengapa semua keluarga besar dan tetangga saya memanggil saya dengan Ari’ sedari kecil. Nama Ari’ ini diambil dari nama tengah saya (Arief), namun variabel ”e f” nya diganti dengan apostrophe. Oleh karena itu, pengucapannya pun secara apostropis.

Beranjak tujuh tahun, saya beruntung bisa merasakan bangku SDN Sudirman IV. SD yang katanya difavoritkan di kota kelahiran saya, Makasssar. Predikat sekolah mahal, mewah, dan bergengsi membuat setiap orang tua sangat ”bernafsu” menggolkan anak-anak mereka ke gawang sekolah bekas rumah sakit tersebut. Dan di sini, sekolah favorit ini, saya dipanggil dengan nama Arif. Tidak lagi direm dengan apostrophe.

Di suatu saat ketika saya berumur sekitar 8 tahun, setelah sholat Jumat, saya diperkenalkan oleh kakak-kakak saya ketika saya ikut nimbrung dalam sebuah diskusi orang dewasa kepada seorang Ustas (sapaan pendakwah bagi masyarakat Sul-Sel). Beliau akrab disapa dengan nama Ustas Salam Coto. Saya menyingkatnya sebagai Ustas Salto. Sapaan tersebut dikarenakan beliau adalah seorang penjual coto dan mie instan yang diseduh dengan air coto yang sangat enak, kata kakak-kakak saya. Dan dalam pertemuan yang sebentar itu, saya dianugerahkan sebuah nama baru. Layaknya selebritas yang bangga dinobatkan sebagai artis terbaik di malam penganugerahan (award), saya pun demikian. Rasa bangga itu muncul setelah kakak-kakak saya yang sibuk tersanjung-sanjung lebih dulu daripada saya karena nama tersebut. Awalnya saya terheran-heran mengapa mereka demikian exciting-nya oleh nama itu. Saya sendiri biasa-biasa saja. Ustas Salam Coto menempatkan nama pemberiannya di belakang nama panjang saya. Dan nama itu adalah, YATHIR. Jadilah nama panjang saya setelah detik itu, Muhammad Arief Al-Fikri Yathir.

Seperti anak kecil kebanyakan yang selalu ingin tahu akan sesuatu yang membuatnya penasaran, saya pun demikian. Akan sebuah nama Yathir. Namun hanya sebatas rasa ingin tahu yang tinggi tanpa pernah berpikir untuk mencari tahu sebab saya sendiri tidak tahu cara mencari tahunya. Namanya juga anak kecil!. Namun, saya pun berhasil menemukan makna Yathir dan alasan Ustas Salam Coto memberi saya nama tersebut sewaktu saya berumur 14 tahun. Secara kebetulan.

Setelah tamat SD, saya memberanikan diri atas nama kemandirian untuk menimba seribu satu liter ilmu dan pengalaman di kampung orang lain, yakni di Ponorogo, Jawa Timur. Nama sekolah saya di sana, PM Darussalam Gontor 1. Di sana, saya belajar sedikit Bahasa Arab. Oleh karena itu, saya jadi tahu arti kata Yathir.

Secara etimologis, Yathir berasal dari bahasa Arab, artinya terbang. Nama Yathir yang Ustas Salam Coto anugerahkan kepada saya diadopsi dari nama Fikri Yathir. Dan nama Fikri Yathir, menyimpan sejarahnya sendiri.

Kang Jalal dan Fikri Yathir

Saya kira sudah banyak dari Anda yang tahu siapa ”Kang Jalal”. Namun saya hanya ingin meyakinkan bahwa ”Kang Jalal” yang saya maksud tidak lain dan tidak bukan adalah Jalaluddin Rakhmat, pakar komunikasi, neurologi, dan psikologi, sekaligus pendiri SMU Plus Muthahhari Bandung. Mengenai Beliau dan nama Fikri Yathir, saya ingin mengutip salah satu sumber dari internet:

Banyak orang memuji tulisan Kang Jalal dan menisbahkan kebaikan tulisannya pada latar belakang ilmu komunikasi yang dimiliki. Banyak orang yang menyukai tulisannya tetapi tidak suka penulisnya. Jika ia menulis buruk, karena alasan seperti di atas, citranya sebagai penulis rusak. Jika ia menulis baik, orang yang tidak suka dengan namanya akan kehilangan manfaat besar karena tidak akan membacanya. Akhirnya demi citra, demi kebahagiaan pembaca dan demi kelangsungan Majalah Ummat, Kang Jalal menghilang dan mengganti namanya dengan Fikri Yathir.

Secara harpiah, Fikri Yathir bisa berarti ”pikiran terbang”. Namun bisa juga diartikan sebagai orang yang hilang ingatan, yang pikirannya ngelantur ke sana ke mari, yang bingung, yang imajinasinya dengan bebas terbang memasuki berbagai alam. Jadi, membaca tulisan Fikri Yathir : would drive you crazy, dapat membuat anda gila. Tetapi dalam dunia yang sudah gila, hanya orang gila saja yang dapat berkomunikasi dengan masyarakat yang gila.

Kutipan di atas merupakan sebahagian isi resensi buku Reformasi Sufistik oleh Noorhalis M. Buku ini ditulis oleh Jalaluddin Rakhmat dan dicetak pada November 1998 (cetakan 1). Sewaktu nyantri di Gontor 1, secara tidak sengaja saya menemukan buku ini di perpustakaan. Saya memilih buku ini karena nama Jalaluddin Rakhmat sudah tidak asing di telinga saya semenjak saya masih berstatus murid SD. Beliau sering dielu-elukan, dipuja kecerdasannya, dikagumi, dan dirindukan oleh kelima kakak saya setiap kali mereka berkumpul dan berdiskusi. Saya yang waktu itu masih berumur belum 10 tahun, juga sering hadir dalam agenda diskusi mereka, meskipun saya tidak pernah mengerti isi dan tujuan diskusi mereka. Dan nama Jalaluddin Rakhmat terinput kekal dalam memori saya.

Saya mencoba membuka halaman demi halaman buku tersebut tanpa ada ketertarikan untuk tenggelam dalam fantasi kata-kata cerdas dan filosofis khas Kang Jalal. Melihat judulnya saja, sudah membuat saya tidak minat membacanya waktu itu. Namanya juga anak kecil! Namun ada satu halaman yang membuat saya tertarik untuk mencoba membacanya sedikit dan sebentar saja. Halaman itu mengenai sejarah dan makna nama Fikri Yathir yang sudah saya jelaskan pada dua paragraf bertuliskan huruf miring di atas. Dari situlah saya mafhum mengapa Ustadz Salam Coto memberikan nama Yathir kepada saya. Omigosh, sebuah nama indah sarat makna! Terima Kasih Ustas.

Nama Remaja Saya

Semenjak duduk di bangku SMP kelas 3 hingga sekarang, nama ”Muh. Arief Al- Fikri” dengan embel-embel ”Yathir” sudah tidak pernah lagi saya ”pamerkan”. Kendati demikian, nama tersebut berserta sejarah dan maknanya akan selalu terpatri dalam hati saya. Kekal bin abadi. Dan saya harap bisa menjadi kompas yang baik menunjukkan arah yang tepat ke mana pikiran saya akan terbang dengan merdeka menjangkau berbagai alam. Mudah-mudahan alam yang penuh elemen kecerdasan, kebaikan, kejujuran, dan semua yang positif. Amin!

Jika semasa SD dan SMP nama panggilan saya hanya satu, yaitu Arif, maka sejak duduk di bangku SMU, saya menemukan identitas saya terkotak-kotak dalam sebuah bingkai yang sebut saja ”nama panggilan”. Mulanya, semua teman dan guru memanggil saya dengan Fikri. Namun sekarang sudah banyak yang menciptakan identitas-identitas baru untuk panggilan saya. Ada yang beralasan, namun ada juga yang "seenaknya".

Kak Amel, misalnya. Sewaktu saya berpapasan dengan dia di depan laboratorium Biologi sekolah kami, tiba-tiba saja dia meminta izin kepada saya untuk memanggil saya dengan panggilan Pikko’. Alasan dia memanggil saya demikian karena dia punya teman yang kebetulan namanya sama dengan nama saya, yaitu Fikri tapi lebih sering dipanggil Pikko’. Ada lagi Yusri, teman sekelas (kelas 1) sekaligus sahabat saya yang juga meminta izin untuk memanggil saya dengan Ekky’. Alasannya sama dengan Kak Amel. Punya teman yang namanya Fikri tapi biasa dipanggil Ekky’. Aneh memang. Namun saya hanya bisa meng-iyakan. Toh tidak ada ruginya bagi saya dan mereka berdua.

Selain Pikko’ dan Ekky’ ada juga yang memanggil saya dengan Iky, Ikki’, Piko (tanpa dobel ”K” berhubung yang memanggil saya demikian orang Jakarta, bukankah warga ibu kota kita ini memang sulit mengucapkan huruf konsonan secara dobel?) bahkan banyak juga yang memanggil saya dengan sapaan Ustas. Alasannya karena saya ngajinya lancar, paham tajwid, dan layaknya para ustadz. Weitz,...itu kata teman2 saya loh!

Nama Dewasa Saya

Sorry,..saya masih REMAJA! Tapi, kalo ada yang mau menciptakan nama baru untuk nama dewasa saya kelak, Please!

6 komentar:

  1. Nama Dewasa: Explorer, gimana?

    BalasHapus
  2. pikko moow lebih enak..
    :)


    .ruucha.

    BalasHapus
  3. pikko??boleh..but can u just tell me the reason?
    truz explorer??maksudnya n knapa??
    hahaaa
    sorry ru klo sa berondongko dgn banyak tanya
    hohoo

    BalasHapus
  4. untuk blog cantik:
    explorer? boleh deh..tapi, kenapa explorer?

    BalasHapus
  5. Penjelajah..., mengarungi perjalanan yang mendewasakan, semakin dalam semakin low profil, semakin luas semakin banyak wawasan, semakin jauh semakin arif!

    BalasHapus

Ruang Tamu