Senin, 03 Mei 2010


Praktek Memaki di Sekolah; Drama Remaja yang Merambah Dunia Internet

Bagi pengguna akun twitter, mungkin tahu kedua nama ini: Marsha dan Rana. Ya, mereka dua ABG yang beberapa waktu lalu terkenal lewat ‘ulahnya’ di situs jejaring sosial tersebut.

Marsha, siswi salah satu SMP swasta di Jakarta memosting sebuah twit yang mengatakan bahwa “SMU Negeri alay”. Sementara Rana, remaja putri yang masih duduk di bangku sekolah menengah atas di kota yang sama sudah lebih dulu ‘naik daun’ gara-gara twitnya yang menyebutkan “pengguna blackberry alay”. Alay merupakan akronim dari anak layangan yang ditujukan bagi orang yang dianggap ‘kampungan’.

Apa yang terjadi setelah mereka memosting twit tersebut?

Para followers Marsha dan Rana menyebarkannnya ke followers mereka lalu disebarkan lagi ke yang lain. Begitulah seterusnya mata rantai penyebarannya sehingga mengantar nama mereka berdua masuk dalam jajaran daftar TT alias trending topics, istilah di twitter untuk menyebut bahasan yang sedang ramai dibicarakan. Daftar-daftar tersebut bisa dilihat oleh seluruh pengguna akun twitter di belahan dunia mana pun. Makanya, ada juga beberapa tweeps (pengguna twitter) asing yang bertanya,”Who’s the hell Marsha?”

Saya, sebagai remaja dan pengguna akun twitter yang cukup aktif juga tentu penasaran dengan Marsha dan Rana. Setelah mendapat cukup informasi (kebetulan Marsha adalah adik kelas seorang teman saya yang di Jakarta sewaktu SMP), saya pun mengunjungi halaman profil twitternya. Saya mengucap ‘waw’ kecil melihat followers Marsha yang 3000-an. Mungkin saja followers dia sebelum tenar tiba-tiba di twitter tidak sebanyak itu.

Membaca beberapa twit Marsha, saya tertawa-tawa kecil. Selain ada twit yang melambungkan namanya dengan mengatakan SMU Negeri alay dan membanggaka-banggakan dirinya sebagai murid sekolah swasta yang disebutnya dengan,”high class”, ada juga beberapa twit di mana dia dan beberapa remaja lain saling serang dengan kata-kata sinis penuh caci maki, tidak jarang pula dengan menggunakan bahasa Inggris. Seperti adegan ‘balas membalas makian tiada henti tanpa ampun’ layaknya film-film remaja produk Hollywood.

Saya juga mengunjungi link foto yang menampilkan potret Marsha berseragam sekolah sedang duduk dengan muka kusut di suatu ruangan. Si peng-upload adalah seorang remaja putri yang mungkin kenal dengan Marsha dan memilki sifat ‘senang meilhat orang malu dan dipermalukan’ ini memberi judul foto tersebut dengan “ini nih si eksis”.

Komentar-komentar di bawah foto yang jumlahnya sangat banyak itu tidak kalah pedasnya. Praktis tidak ada yang menaruh simpati dan belas kasihan terhadap Marsha. Memang ada beberapa yang berkata,” kasihan banget ya” namun ditambah dengan rentetan kata-kata yang membentuk sebuah kalimat caci maki khas remaja metropolitan. Sungguh seperti sinetron!

Marsha sendiri menanggapi semua twit pedas itu dengan ungkapan sinis di statusnya yang kurang lebih seperti ini, “sorry ya, buat kalian-kalian yang gak penting itu, apa urusan lo?”. Persis seperti ketika Luna Maya menanggapi komentar orang-orang yang tidak dikenalnya berkaitan mengenai kasusnya yang sempat geger karena dinilai merendahakan pekerja infotainment yang juga dari sebuah twit beberapa bulan lalu.

Saya akui Marsha dan Rana memang memaki, namun apakah penting dan perlu untuk menanggapi makian remaja seperti mereka yang ternyata menurut saya sungguh sangat sepele dan remeh temeh dengan balas memaki? Tidak adakah bentuk balasan lain yang lebih beretika dan kreatif? Hanya karena kata alay yang keluar dari mulut SEORANG ABG labil seperti Marsha lantas SEMUA sekolah negeri terutama murid-muridnya merasa direndahkan dan dihina? Bukankah biasanya justru jika tersinggung menandakan bahwa yang tersinggung itu memang demikian? Apa sih pengaruh langsungnya bagi kelangsungan hidup dan kegiatan belajar mengajar di sekolah negeri atau bagi kehidupan para pemakai blackberry gara-gara kata alay itu?

Saya sendiri, yang masih belasan tahun dan merupakan lulusan SMU Negeri tahun kemarin sama sekali tidak tersinggung. Lagipula bagi saya semua kata sifat, termasuk alay itu relatif. (Eh, alay termasuk kata sifat kan?). Alay menurutmu, belum tentu alay menurutku, demikian sebaliknya. Tapi karena sudah terlanjur heboh, mari ambil hikmahnya saja bahwa benarlah tagline sebuah iklan yang berbunyi, “mulutmu harimaumu”.

Melihat kasus Marsha dan Rana, saya menyadari sebuah fenomena yang sebetulnya sudah lama terjadi. Praktek memaki yang kerap terjadi di sekolahan antara junior senior menemukan ranah lain yang lebih bebas dan jangkauannya lebih luas. Lebih bebas karena siapa pun bisa menyebarluaskan dan atau merespon apa pun dengan seenak jidatnya. Seperti para komentator pedas di foto Marsha. Mereka bisa seenak hatinya berkomentar seperti itu, toh tidak mungkin keluarga besar Marsha mendatangi satu per satu rumah mereka di suatu malam yang mengejutkan sambil bawa golok.

Selain itu, karena beberapa waktu belakangan ini pembicaraan mengenai RPM Konten Multimedia sedang riuh rendah, saya rasa edukasi mengenai internet, termasuk etika dalam menggunakannya lebih perlu disosialisasikan lebih baik dan kreatif lagi oleh siapa pun, terutama Menkominfo ketimbang membuat peraturan yang sungguh merepotkan, apalagi bagi penyelenggara dan penyedia layanan jasa web hosting. Saya yakin, banyak yang tidak mau lagi ada Marsha-Rana lain di kemudian hari, kecuali yang memang punya penyakit ‘senang meilhat orang malu dan dipermalukan’.

Gambar dari sini

2 komentar:

  1. fikri sy baru sadar klo kau jg punya blog.
    hahaha
    tp knapa dak bisa di follow ???
    kira bisa share2 dari tulisan masing2 kan :)

    BalasHapus

Ruang Tamu