Anarkisme Bukanlah Semata Kekerasan
(Ulasan mengenai penggunaan kata 'anarkis' dalam konten berita yang dimuat di situs VOA Indonesia)
Foto berita Voa. Sumber: Voa Indonesia |
Ada 2 keresahan (atau mungkin lebih tepatnya kerisihan) saat membaca artikel di situs resmi VOA mengenai pembubaran pertemuan nasional gerakan Ahmadiyah di Yogyakarta pada Jumat, 13 Januari lalu oleh organisasi massa -yang lagi-lagi- mengatasnamakan agama. Tulisan tersebut berjudul “Pertemuan Nasional Gerakan Ahmadiyah di Jogja Dibubarkan Paksa” oleh Nurhadi Sucahyo. Bisa dibaca di sini.
Kerisihan yang pertama adalah terhadap keresehan ormas-ormas yang merasa ideologinya benar di atas segala-galanya dan menolak segala macam paham yang dianggapnya menyimpang, sesat, dan sejenisnya. Padahal kalau dipikir-pikir apa yang salah dari perbedaan seperti ini? Apa mudharatnya bagi bangsa dan negara Indonesia jika Ahmadiyah tetap ada dan tetap melangsungkan pertemuan nasional mereka hingga selesai, lalu setelah itu pulang ke rumah masing-masing dengan tenang tanpa perlu ada huru hara yang bikin habis-habis energi? Ada yang bisa menjelaskan kepada saya?
Saya pribadi merasa hidup saya, teman-teman saya, keluarga saya, dan bangsa saya secara umum tidak akan terganggu, tapi kenapa ormas-ormas itu bisa merasa seperti ada yang terancam dari hidup mereka jika Ahmadiyah eksis? Lagi, ada yang bisa jelaskan kepada saya? Terlalu naifkah saya atau memang ormas-ormas itu yang kurang kerjaan?
Inilah kerisihan pertama saya yang sebenarnya sudah sering muncul di benak karena pemberitaan semacam yang juga sudah sering ditayangkan oleh media massa, cetak maupun elektronik. Apakah Anda, para pembaca, juga merasa demikian?
Sementara itu, kerisihan kedua -dan inilah fokus utama saya dalam ulasan ini- dipicu oleh penggunaan kata ‘anarkis’ pada keterangan foto dalam konten berita. “
Peter Kropotkin dalam Encyclopedia Brittanica bahwa anarkisme:
The name given
to a principle or theory of life
and conduct
under which society is conceived
without government—harmony in
such a society
being obtained,
not by submission to law, or by
obedience to any
authority, but by free agreements
concluded
between the various groups, territorial
and
professional, freely constituted for the sake of
production and
consumption, as also for the satisfaction
of the infinite
variety of needs and aspirations
of a civilized
being.
(Penekanan
dengan huruf tebal dari saya).
Berdasarkan
teori Kropotkin di atas, anarkisme merupakan paham yang menggerakkan kehidupan
masyarakat untuk bebas menentukan kehidupan komunal mereka sendiri. Negara
dianggap tidak usah ikut campur. Bahkan dalam tingkat yang paling ekstrem, tidak
perlu ada pemerintahan negara, without
government. Masyarakat tidak suka hidup mereka diatur oleh seperangkat
aturan struktural formal yang dibentuk oleh negara. Tidak perlu ada yang
namanya DPR, MPR atau sejenisnya yang disebut sebagai ‘wakil rakyat’, sebab
salah satu poin dalam anarkisme adalah ‘tanpa perwakilan’.
Masih
dalam penafsiran saya terhadap teori Kropotkin, dalam anarkisme masyarakat
percaya bahwa mereka sendirilah yang bisa mengatur kehidupan komunal mereka,
sebab yang sesungguhnya tahu dan mengerti kebutuhan hidup mereka, ya mereka
sendiri sebagai masyarakat. Dengan begini, masyarakat percaya harmoni kehidupan
dapat tercipta. Akan tetapi, Graeber berpendapat bahwa nampaknya hampir
mustahil untuk meniadakan betul eksistensi dan peran negara. Terutama zaman
sekarang, negara tetaplah ada, hanya saja yang perlu diperhatikan terkait gerakan
anarkisme adalah adanya kontrol langsung dari masyarakat. Masyarakat terlibat
langsung dalam segala pembuatan kebijakan negara. Jadi jika para pejabat yang
disebut sebagai wakil rakyat itu sedang rapat merancang undang-undang atau
kebijakan-kebijakan, masyarakat sipil harusnya ikut terlibat. Mereka juga harus
ada di situ dan aktif berpendapat. Tidak dilarang atau ditutupkan pagar dengan
alasan mereka tidak berwenang masuk ke gedung. Anarkisme justru sebaliknya.
Inilah yang disebut sebagai direct
democracy, dan demokrasi bernafaskan semangat anarkisme seperti ini,
menurut Graeber justru merupakan demokrasi yang paling berhasil.
Anarkisme
juga sangat menjunjung tinggi kebebasan berpendapat. Jika dalam suatu konsensus
ada yang tidak sepakat dengan kesepakatan mayoritas, meskipun itu cuma 1 orang,
silakan angkat tangan dan berargumen. Jika memang tidak sesuai dengan pendapatnya,
maka ia berhak untuk tidak ikut apa yang tidak disetujuinya dalam mufakat. Tidak
ada pemaksaan kehendak. Nah, jika kata anarkis digunakan untuk merujuk aksi
pembubaran pertemuan nasional Ahmadiyah oleh sekelompok ormas gabungan seperti
yang diberitakan VOA, rasanya tidak pantas sebab aksi mereka justru
bertentangan dengan anarkisme. Mereka mengintervensi dengan memaksakan kehendak
mereka serta mengganggu kebebasan orang lain untuk memilih dan menjalankan
keyakinannya. Singkatnya, mereka justru tidak anarkis.
Media
massa kita kerap melakukan kesalahan. Aksi-aksi demonstrasi yang merusak pagar,
membakar ban, memacetkan jalan, aksi lempar batu, baku dorong antara sipil dan
militer, dipandang secara dangkal sebagai bentuk-bentuk anarkisme. Dan
masyarakat sebagai konsumen berita, jika tidak kritis, menerima itu dalam
pemahaman mereka. Mereka juga bilang itu adalah anarkisme. Mereka hanya melihat
yang permukaannya, yakni aksi-aksi kekerasannya saja. Segala bentuk
pemberontakan, apa pun itu, dianggap sebagai tindakan anarkis tanpa ada upaya
melihat konteksnya secara lebih mendalam. Inilah yang saya maksudkan tadi
sebagai ‘penyakit’ media massa kita.
Anarkisme
juga tidak bisa dipadankan dengan aksi-aksi kekerasan atau merusak, meskipun
keduanya mempunyai hubungan. Maksudnya berhubungan, gerakan anarkisme juga bisa
dipraktekkan dengan merusak properti, misalnya merusak mesin atm, membakar
restoran waralaba dan sebagainya. Namun, syaratnya adalah tidak menganggu orang
lain. Jadi, jika ada suatu restoran yang diduga milik konglomerat yang melakukan
perbuatan korupsi dibakar pada dini hari (bukan siang hari saat banyak orang
makan di tempat itu) saat restoran tersebut tutup, tidak ada siapa pun di situ,
maka pelakunya bisa disebut anarkis karena itulah bentuk protesnya dia. Atau
jika ada kasus pengrusakan mesin atm yang dilakukan terhadap suatu bank yang
direkturnya terkena kasus penggelapan dana, maka pelakunya itu anarkis.
Selain
itu, anarkisme justru bisa diwujudkan dengan gerakan-gerakan pemberontakan atau
perlawanan tapi dengan semangat anti kekerasan. Contohnya seperti yang
diperjuangkan oleh Mahatma Gandhi. Ajaran-ajaran anti kekerasannya justru bisa
dikatakan sebagai bentuk anarkisme. Dan Gandhi sendiri adalah tokoh yang
anarkis. Dengan demikian, anarkisme justru bertujuan untuk menciptakan
keselarasan, harmoni, kenyamanan, keamanan, dan segala kebaikan hidup yang
diingankan.
Saya
harap, VOA tidak lagi salah konteks dalam menggunakan istilah anarkis atau anarkisme. Begitu pun media massa serta masyarakat luas.
Referensi:
Graeber,
David. 2004. Fragments of An Anarchist
Anhtropoogy. Chicago: Prickly
Paradigm Press.
ulasan seperti ini harus dibaca media besarrr...semoga ada perbaikan...bukankah pembaca pemilik kuasa??
BalasHapusha, kecil tapi penting, semua penonton pasti gak akan menyadari adanya hal ini, sekelas VOA pasti semua orang akan "waw"dan terkesan "iya- iya aja". bahkan justru siapa cepat dia dapat berita dari VOA makin bangga cerita ke teman terdekatnya, tapi hal ini perlu sering dilakukan, selain sebagai kontrol mungkin juga bisa jadi perbaikan bagi pihak mereka pembuat berita :)
BalasHapusnah ini menjadi penting ya, kecil tapi tidak diperhatikan. biasanya bagi kalangan penikmat berita atau informasi berita dari VOA ini sangat ditunggu- tunggu. bahkan sangat bangga bercerita kepada teman ketika mendapat satu berita baru dari VOA. tapi siapa sangka jika kita bisa melihat adanya kesalahan dalam pemberitaan, semoga hal ini bisa menjadi koreksi bagi si pemberi berita.
BalasHapushohoho,, kesimpulannya "mereka itu tidak anarkis"...
BalasHapusgood, dan sangat bodoh kesannya.
dan media nasional kita barangkali ada yang belum paham, atau memang sudah paham. jika mereka adalah yang pertama, sangat wajar saja, sebab mereka semasa kuliahnya hanya belajar pegang kamera dn transkip wawancara,, tapi kalau barangkali ada sebagian yang kedua, saya kira karena pangsa pasar memaksa mereka untuk tetap menggunakannya, dan ini menuntut masyarakat, konsumen media, pelaku media untuk membaca kembali..
mari tradisikan kritik media semacam ini.