Selasa, 05 Juni 2012

Anarkisme Bukanlah Semata Kekerasan
(Ulasan mengenai penggunaan kata 'anarkis' dalam konten berita yang dimuat di situs VOA Indonesia)

Foto berita Voa. Sumber: Voa Indonesia

Ada 2 keresahan (atau mungkin lebih tepatnya kerisihan) saat membaca artikel di situs resmi VOA mengenai pembubaran pertemuan nasional gerakan Ahmadiyah di Yogyakarta pada Jumat, 13 Januari lalu oleh organisasi massa -yang lagi-lagi- mengatasnamakan agama. Tulisan tersebut berjudul “Pertemuan Nasional Gerakan Ahmadiyah di Jogja Dibubarkan Paksa” oleh Nurhadi Sucahyo. Bisa dibaca di sini.

Kerisihan yang pertama adalah terhadap keresehan ormas-ormas yang merasa ideologinya benar di atas segala-galanya dan menolak segala macam paham yang dianggapnya menyimpang, sesat, dan sejenisnya. Padahal kalau dipikir-pikir apa yang salah dari perbedaan seperti ini? Apa mudharatnya bagi bangsa dan negara Indonesia jika Ahmadiyah tetap ada dan tetap melangsungkan pertemuan nasional mereka hingga selesai, lalu setelah itu pulang ke rumah masing-masing dengan tenang tanpa perlu ada huru hara yang bikin habis-habis energi? Ada yang bisa menjelaskan kepada saya?

Saya pribadi merasa hidup saya, teman-teman saya, keluarga saya, dan bangsa saya secara umum tidak akan terganggu, tapi kenapa ormas-ormas itu bisa merasa seperti ada yang terancam dari hidup mereka jika Ahmadiyah eksis? Lagi, ada yang bisa jelaskan kepada saya? Terlalu naifkah saya atau memang ormas-ormas itu yang kurang kerjaan?

Inilah kerisihan pertama saya yang sebenarnya sudah sering muncul di benak karena pemberitaan semacam yang juga sudah sering ditayangkan oleh media massa, cetak maupun elektronik. Apakah Anda, para pembaca, juga merasa demikian?

Sementara itu, kerisihan kedua -dan inilah fokus utama saya dalam ulasan ini- dipicu oleh penggunaan kata ‘anarkis’ pada keterangan foto dalam konten berita. Pihak kepolisian Jogjakarta melakukan pendekatan agar aksi massa dari berbagai organisasi Islam yang menuntut pembubaran kegiatan Gerakan Ahmadiyah tidak anarkis (13/1)”, demikian bunyi keterangan foto tersebut. Saya yakin bahwa kata anarkis dalam keterangan foto tersebut merujuk kepada segala macam bentuk aksi rusuh (misalnya kekerasan atau pengrusakan properti), seperti lazimnya diberitakan oleh media massa. Pertanyaannya, apakah anarkis atau anarkisme benar hanya seperti itu? Jawabannya: tidak!

Bagi yang pernah belajar mengenai istilah anarkis atau anarkisme, pasti tahu bahwa media massa kita sering melakukan penyalahgunaan kedua istilah ini. Ya, ada semacam ‘penyakit’ dalam tubuh media massa kita yang mungkin tidak disadari setiap menggunakan istilah ini.

David Graeber menulis satu artikel yang sangat menarik berjudul “Fragments of An Anarchist Anthropology”. Jika tertarik untuk membacanya, bisa diunggah di sini. Dalam tulisannya, Graeber mengutip pernyataan Peter Kropotkin dalam Encyclopedia Brittanica bahwa anarkisme:

The name given to a principle or theory of life
and conduct under which society is conceived
without governmentharmony in such a society
being obtained, not by submission to law, or by
obedience to any authority, but by free agreements
concluded between the various groups, territorial
and professional, freely constituted for the sake of
production and consumption, as also for the satisfaction
of the infinite variety of needs and aspirations
of a civilized being.
(Penekanan dengan huruf tebal dari saya).

Berdasarkan teori Kropotkin di atas, anarkisme merupakan paham yang menggerakkan kehidupan masyarakat untuk bebas menentukan kehidupan komunal mereka sendiri. Negara dianggap tidak usah ikut campur. Bahkan dalam tingkat yang paling ekstrem, tidak perlu ada pemerintahan negara, without government. Masyarakat tidak suka hidup mereka diatur oleh seperangkat aturan struktural formal yang dibentuk oleh negara. Tidak perlu ada yang namanya DPR, MPR atau sejenisnya yang disebut sebagai ‘wakil rakyat’, sebab salah satu poin dalam anarkisme adalah ‘tanpa perwakilan’.

Masih dalam penafsiran saya terhadap teori Kropotkin, dalam anarkisme masyarakat percaya bahwa mereka sendirilah yang bisa mengatur kehidupan komunal mereka, sebab yang sesungguhnya tahu dan mengerti kebutuhan hidup mereka, ya mereka sendiri sebagai masyarakat. Dengan begini, masyarakat percaya harmoni kehidupan dapat tercipta. Akan tetapi, Graeber berpendapat bahwa nampaknya hampir mustahil untuk meniadakan betul eksistensi dan peran negara. Terutama zaman sekarang, negara tetaplah ada, hanya saja yang perlu diperhatikan terkait gerakan anarkisme adalah adanya kontrol langsung dari masyarakat. Masyarakat terlibat langsung dalam segala pembuatan kebijakan negara. Jadi jika para pejabat yang disebut sebagai wakil rakyat itu sedang rapat merancang undang-undang atau kebijakan-kebijakan, masyarakat sipil harusnya ikut terlibat. Mereka juga harus ada di situ dan aktif berpendapat. Tidak dilarang atau ditutupkan pagar dengan alasan mereka tidak berwenang masuk ke gedung. Anarkisme justru sebaliknya. Inilah yang disebut sebagai direct democracy, dan demokrasi bernafaskan semangat anarkisme seperti ini, menurut Graeber justru merupakan demokrasi yang paling berhasil.

Anarkisme juga sangat menjunjung tinggi kebebasan berpendapat. Jika dalam suatu konsensus ada yang tidak sepakat dengan kesepakatan mayoritas, meskipun itu cuma 1 orang, silakan angkat tangan dan berargumen. Jika memang tidak sesuai dengan pendapatnya, maka ia berhak untuk tidak ikut apa yang tidak disetujuinya dalam mufakat. Tidak ada pemaksaan kehendak. Nah, jika kata anarkis digunakan untuk merujuk aksi pembubaran pertemuan nasional Ahmadiyah oleh sekelompok ormas gabungan seperti yang diberitakan VOA, rasanya tidak pantas sebab aksi mereka justru bertentangan dengan anarkisme. Mereka mengintervensi dengan memaksakan kehendak mereka serta mengganggu kebebasan orang lain untuk memilih dan menjalankan keyakinannya. Singkatnya, mereka justru tidak anarkis.

Media massa kita kerap melakukan kesalahan. Aksi-aksi demonstrasi yang merusak pagar, membakar ban, memacetkan jalan, aksi lempar batu, baku dorong antara sipil dan militer, dipandang secara dangkal sebagai bentuk-bentuk anarkisme. Dan masyarakat sebagai konsumen berita, jika tidak kritis, menerima itu dalam pemahaman mereka. Mereka juga bilang itu adalah anarkisme. Mereka hanya melihat yang permukaannya, yakni aksi-aksi kekerasannya saja. Segala bentuk pemberontakan, apa pun itu, dianggap sebagai tindakan anarkis tanpa ada upaya melihat konteksnya secara lebih mendalam. Inilah yang saya maksudkan tadi sebagai ‘penyakit’ media massa kita.

Anarkisme juga tidak bisa dipadankan dengan aksi-aksi kekerasan atau merusak, meskipun keduanya mempunyai hubungan. Maksudnya berhubungan, gerakan anarkisme juga bisa dipraktekkan dengan merusak properti, misalnya merusak mesin atm, membakar restoran waralaba dan sebagainya. Namun, syaratnya adalah tidak menganggu orang lain. Jadi, jika ada suatu restoran yang diduga milik konglomerat yang melakukan perbuatan korupsi dibakar pada dini hari (bukan siang hari saat banyak orang makan di tempat itu) saat restoran tersebut tutup, tidak ada siapa pun di situ, maka pelakunya bisa disebut anarkis karena itulah bentuk protesnya dia. Atau jika ada kasus pengrusakan mesin atm yang dilakukan terhadap suatu bank yang direkturnya terkena kasus penggelapan dana, maka pelakunya itu anarkis.

Selain itu, anarkisme justru bisa diwujudkan dengan gerakan-gerakan pemberontakan atau perlawanan tapi dengan semangat anti kekerasan. Contohnya seperti yang diperjuangkan oleh Mahatma Gandhi. Ajaran-ajaran anti kekerasannya justru bisa dikatakan sebagai bentuk anarkisme. Dan Gandhi sendiri adalah tokoh yang anarkis. Dengan demikian, anarkisme justru bertujuan untuk menciptakan keselarasan, harmoni, kenyamanan, keamanan, dan segala kebaikan hidup yang diingankan.

Saya harap, VOA tidak lagi salah konteks dalam menggunakan istilah anarkis atau anarkisme. Begitu pun media massa serta masyarakat luas.

Referensi:
Graeber, David. 2004. Fragments of An Anarchist Anhtropoogy. Chicago: Prickly Paradigm Press.



4 komentar:

  1. ulasan seperti ini harus dibaca media besarrr...semoga ada perbaikan...bukankah pembaca pemilik kuasa??

    BalasHapus
  2. ha, kecil tapi penting, semua penonton pasti gak akan menyadari adanya hal ini, sekelas VOA pasti semua orang akan "waw"dan terkesan "iya- iya aja". bahkan justru siapa cepat dia dapat berita dari VOA makin bangga cerita ke teman terdekatnya, tapi hal ini perlu sering dilakukan, selain sebagai kontrol mungkin juga bisa jadi perbaikan bagi pihak mereka pembuat berita :)

    BalasHapus
  3. nah ini menjadi penting ya, kecil tapi tidak diperhatikan. biasanya bagi kalangan penikmat berita atau informasi berita dari VOA ini sangat ditunggu- tunggu. bahkan sangat bangga bercerita kepada teman ketika mendapat satu berita baru dari VOA. tapi siapa sangka jika kita bisa melihat adanya kesalahan dalam pemberitaan, semoga hal ini bisa menjadi koreksi bagi si pemberi berita.

    BalasHapus
  4. hohoho,, kesimpulannya "mereka itu tidak anarkis"...
    good, dan sangat bodoh kesannya.
    dan media nasional kita barangkali ada yang belum paham, atau memang sudah paham. jika mereka adalah yang pertama, sangat wajar saja, sebab mereka semasa kuliahnya hanya belajar pegang kamera dn transkip wawancara,, tapi kalau barangkali ada sebagian yang kedua, saya kira karena pangsa pasar memaksa mereka untuk tetap menggunakannya, dan ini menuntut masyarakat, konsumen media, pelaku media untuk membaca kembali..
    mari tradisikan kritik media semacam ini.

    BalasHapus

Ruang Tamu